- Back to Home »
- fiqih »
- HUKUM PERNIKAHAN BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH
Posted by : yudi
Kamis, 22 Januari 2015
HUKUM PERNIKAHAN BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH
Oleh: Yudhi Alhamdi Amras
A.
Mengawinkan Wanita yang sedang Hamil diluar Nikah dan Status
Anaknya
Dalam Hukum Islam,
melakukan hubungan seks antara laki-laki dan wanita tanpa diikat oleh akad
nikah yang sah disebut zina. Hubungan tersebut tanpa dibedakan apakah pelakunya
gadis, bersuami, atau janda, jejaka, beristeri atau duda.
Secara definisi Fuqaha merumuskan zina sebagai berikut:
الزِناَّ
إِيْلَاجُ ألذَّكَرِ بِفَرْجِ مُحَرَّمٍ بِعَيْنِ خَالٍ عَنِ الشُّبْهَةِ
مُشْتَهٍى
Artinya: “zina adalah memasukan zakar ke dalam faraj yang bukan
isterinya, bukan campur secara subhat dan menimbulkan kelezatan”.[1]
Yang dimaksud
“Kawin Hamil” disini ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil diluar nikah.
Baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan
yang menghamilinya.
Hukum hamil dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama
berbeda pendapat sebagai berikut[2]:
1.
Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali)
berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami
istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru
ia mengawininya.
2.
Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan
dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani
hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina.
a.
Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan
orang yang telah berzina, beliau berkata: “boleh mengawinkannya, asal keduanya
telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya”.
b.
Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu
Bakar dan berkata: ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan
aku inginkan agar keduanya dikawinkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada
sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya,
mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi
perbedaan pendapat para ulama:
1.
Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali)
berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan
perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri,
karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh
sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini
ibunya itu (anak di luar nikah).
2.
Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa
perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampu, selama bayi yang
dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadis:
“janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir
(kandungannya)”.
3.
Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan
perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau ini berdasarkan firman Allah:
ÎT#¨9$#
w
ßxÅ3Zt wÎ)
ºpuÏR#y ÷rr&
Zpx.Îô³ãB
èpuÏR#¨9$#ur
w
!$ygßsÅ3Zt wÎ)
Ab#y ÷rr&
Ô8Îô³ãB
4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya: “laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mukmin”.
Maksudnya ayat
tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang
wanita yang berzina. Demikian sebaliknya wanita yang beriman tidak pantas kawin
dengan pria yang berzina.
Ibnu Qudamah
sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh
mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan ornag lain,
kecuali dengan dua syarat:
1.
Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan
hamil ia tidak boleh kawin.
2.
Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera, apakah ia hamil atau
tidak[3].
B.
STATUS ANAK
Madzhab yang empat
(Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hambali) telah sepakat. Anak hasil zina tidak
memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak memiliki
bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya, menaburkan benih itu mengaku
yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah,. Karena anak
tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini sama saja, baik si wanita
yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami. Jadi
anak itu tidak berbapak. Berdasarkan sabda Rasulullah:
اَلْوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر
Artinya: Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi
laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)
Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si isteri yang pernah
digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya
dinamakan firasy.
Karena si suami atau si tuan menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna
hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu
bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan
kekecewaan dan penyesalan.
Kemudian Imam
Syafi’i berpendapat, paling cepat umur kehamilan itu adalah enam bulan. Apabila
perkawinan itu telah lebih dari enam bulan, lalu anakitu lahir, maka anak itu
dinasabkan kepada suaminya.sebaliknya, apabila kurang dari enam bulan, maka
anak itu dinasabkan kepada ibunya.
Pendapat itu,
jika diperhatikan dari pengertian dengan perkawinan (nikah itu sendiri secara
istilah, yaitu nikah adalah akad penghalalan persetubuhan. Oleh karena itu,
konsekuensinya, jika seorang wanita ternyata hamil sebelum akad dimaksud, maka
kehamilan wanita itu tidak dihargai, bibit itu bsa dari laki-laki mana saja.
Oleh sebab itu, apabila anak laki-laki itu lahir, dia tidak memiliki nasab
kepada laki-laki. Akan tetapi, ia bernasab kepada ibunya.
Sedangkan Imam
Hanafi beralasan dengan menggunakan lafadz al-firasy yang berarti laki-laki,
maka hubungan nasab itu dengan nasab suami ibunya. Disamping lafadz al-firasy
itu, Imam Hanafi juga memandang lafadz “nikah” menurut hakiki ialah setubuh.
Memperhatikan
pendapat Imam Hanafi tersebut, maka setiap anak yang lahir akan dihubungkan
nasabnya kepada laki-laki yang memiliki bibit.
Ketentuan ini
terlihat dengan sikapnya mengartikan nikah dengan setubuh. Maka konsekuensinya,
asal terjadi hubungan seksual yang mengakibatkan lahirnya seorang bayi, maka
bayi tersebut adalah anak laki-laki pelaku perbuatan zina tersebut.
Dengan
demikian, bayi yang lahir dari perkawinan wanita hamil itu bukan secara
langsung dinasabkan kepada mereka yang memiliki bibit. Artinya bisa pula
dinasabkan kepada orang yang mengawini ibu bayi tersebut.
Kita sudah mengetahui bahwa anak yang dilahirkan wanita dari hasil
hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan sebagai anak si laki-laki yang berzina
dengannya. Maka berarti:
1.
Anak itu
tidak berbapak.
2.
Anak itu
tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
3.
Bila
anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali
hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi
walinya. Karena dalam pandangan Islam bukan bapaknya Rasulullah bersabda,
C.
فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا
Artinya: Maka
sulthan (Pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.[4]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan yang telah kami uraikan di atas, dapat kami beri kesimpulan sebagai
berikut:
1. Hukum hamil
dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat sebagai
berikut[5]:
a.
Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali)
berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami
istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru
ia mengawininya.
b.
Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah)
dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan
menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina.
2.
Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali)
telah sepakat. Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam
arti si anak itu tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya,
menaburkan benih itu mengaku yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini
tidak sah,. Karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini
sama saja, baik si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami
DAFTAR PUSTAKA
Huzaimah. Problematika Hukum
Islam Kontemporer (Pengakuan Anak Luar Nikah). Jakarta: Pustaka Firdaus
M. Ali Hasan. Masail Fiqhiyah
al-Haditsa., (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh
Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2003
Fathurrachma
Azhari, dalam Syari’ah: Jurnal hukum dan Pemikiran no. 2 juli-Desember
tahun 2006, diakses tanggal 16
Oktober 2012
[1]
Chuzaimah, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Pengakuan Anak Luar Nikah),
(Jakarta: Pustaka Firdaus), h. 124.
[2] M.
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 30.
[3]
Abdul, Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2003), h. 127
[4]Fathurrachma
Azhari, dalam Syari’ah: Jurnal hukum dan Pemikiran no. 2 juli-Desember
tahun 2006, diakses tanggal 16
Oktober 2012
[5] M.
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 30.
mantap gan artikelnya, thanks
BalasHapussouvenir pernikahan unik