Posted by : yudi Kamis, 22 Januari 2015

Oleh Yudhi Alhamdi Amras

A.    PENDAHULUAN
     Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali kita menghadapi permasalahan yang pelik.  Terlebih lagi ketika masalah tersebut dihubungkan dengan masalah agama. Masalah halal-haram contohnya. Apabila masala tersebut dapat kita cari solusinya secara langsung di dalam al-Qur’an dan Hadits, tentu kita akan tenang menghadapinya. Itupun tidak sembarang orang bisa melakukannya. Namun, apabila permasalahan tersebut tidak kita temukan di dalam al-Qur’an dan hadits secara langsung, sudah pasti kita akan kesulitan bahkan kebingungan dalam menyelesaikan solusi yang kita hadapi. Lantas bagaimana pengambilan keputusan yang mesti kita ambil dalam menyelesaikan suatu kasus/masalah yang sedang kita alami?
     Para ulama terdahulu telah berupaya dalam mencari solusi dari masalah yang ada dalam kehidupan, baik yang berhubungan dengan maalah pribadi maupun dalam masalah-masalah yang timbul di masyarakat, trlebih lagi dalam masalah hukum. Dalam Islam, ijma’ dan qiyas merupakan lanjutan dari sumber hukum setelah al-Qur’an dan hadits yang merupakan upaya para ulama dalam menetapkan hukum dari suatu perkara-perkara yang timbul di masyarakat, dengan tidak meninggalkan al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama dalam penetapan hukum. Tidak hanya itu, Imam Malik bin Anas jauh lebih rinci dalam melakukan qiyas/menalar perihal masalah yang ada. Di mana sumber hukum yang dipakai, yang merupakan bagian dari qiyas tersebut adalah sadd adz-dzari’ah, di mana penggunaan sumber hukum ini merupakan perihal yang masih diperdebatkan oleh para ulama’.
B.     PENGERTIAN SADD AL-ZARI’AH
     Secara etimologi, sadd al-zari’ah berasal dari dua kata. Sadd artinya menutup dan zari’ah yang artinya jalan. Jadi menurut bahasa sadd al-zari’ah  artinya adalah menutup jalan. Akal akan berkata kalau jalan itu ditutup maka semua arah yang akan datang ke pintu itu tidak boleh dilalui.
Sedangkan secara terminologi, para ulama mendefinisikan sebagai berikut:
-          Menurut Imam al-Syaukani, sadd al-zari’at adalah sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan membawa kepada hal yang dilarang.(syaifuddin shiddiq, ushul fiqh, hal 76-77)
-          Menurut al-Syathibi, mendefinisikan sadd al-zari’ah dengan melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandumg kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan. Maksudnya adalah seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang telah dicapai mengandung suatu kemafsadatan.(Prof.Dr. Nasrun Harun, ushul fiqh, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2001) cet. III hal. 161)
Dari definisi di atas dapat diperoleh gambaran secara jelas bahwa sadd al-zari’ah adalah merupakan usaha mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah. Dengan demikian, metode ini bersifat preventif yaitu usaha pencegahan. Artinya, segala sesuatu yang mubah tetapi akan membawa kepada perbuatan yang haram sehingga hukumnya menjadi haram.diantara kasus hukum yang yang ditetapkan berdasarkan metode ini adalah kasus pemberian hadiah kepada hakim. Seorang hakim haram menerima pihak yang berperkarasebelum perkara itu diputuskan, karena hal itu akan membawa ketidak adilan dalam memutuskan perkara yang sedang ditanganinya. Sedangkan pada dasarnya menerima pemberian dari orang lain hukumnya diperbolehkan. Namun pada kasus diatas haram hukumnya. (syaifuddin shiddiq, ushul fiqh, hal 76-77)
Contoh yang lainnya adalah dalam masalah zakat. Sebelum memasuki masa haul, seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian harta kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena perbuatan itu merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajiban (membayar zakat), maka perbuatan seperti ini dilarang. Pelarangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.
Imam al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi, sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
1.      Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kemafsadatan
2.      Kemafsadatan kebih kuat daripada pemaslahatan pekerjaannya
3.      Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan, unsur kemafsadatannya lebih banyak.
Dalam pembahasan hukum taklifi tentang “wajib” telah diuraikan tentang hukum melakukan segala sesuatu yang membawa kepada dan mendahului suatu perbuatan wajib, yang disebut “muqaddimah wajib”. Dari segi bahwa ia adalah washilah (perantara) kepada suatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari’ah. Oleh karena itu para penulis dan para ulama memasukkan pembahasan tentang muqaddimah wajib” ke dalam pembahasan tentang dzari’ah, karena sama-sama sebagai perantara kepada sesuatu.
Badran dan Zuhailai membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzari’ah. Perbedaannya terlertak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju kepada perantara atau washilah. Pada dzari’ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Kalau zina adalah perbuatan pokok dan khalwat adalah perantara, maka tidak terjadinya zina itu tidak tergantung pada terjadinya khalwat, artinya tanpa khalwat pun zina dapat juga terjadi. Karena itu, perantara di sini disebut dzari’ah.
Pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara. Kalau shalat sebagai perbuatan pokok dan wudhu sebagai perantara, maka keberadaan dan kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu. Karenanya wudhu di sini disebut muqaddimah.
Meskipun Badran dan Zuhaili mengemukakan adanya perbedaan antara muqaddimah dengan dzari’ah, namun keduannya berpendapat bahwa antara dzari’ah dan muqaddimah itu mempunyai kesamaan, yaitu sama sebagai “perantara” untuk sesuatu.
Sebenarnya kalau ingin membedakan di antara keduanya akan lebih tepat kalau dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang berada di balik perantara itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang disuruh, maka washilahnya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang dilarang, maka washilahnya disebut dzari’ah. Karena kita harus menjauhi perbuatan yang dilarang, termasuk washilahnya, maka bahasan di sini adalah tentang upaya untuk menjauhi washilah, agar terhindar dari perbuatan pokoknya yang dilarang. Oleh karenanya pokok bahasan di sini adalah tentang saddu al-dzari’ah. Tentang membuka zari’ah tidak dibicarakan karena sudah dijelaskan pada pembahasan tentang muqaddimah wajib.[1]
Pembagian Zari’ah menurut Imam asy Syatibi
Imam asy Syatibi membagi zari’ah dari segi kualitas kemafsadatannya menjadi empat, yaitu:
a.       Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Contohnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada malam hari, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
b.      Perbuatan yang boelh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan. Contohnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c.       Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Contohnya menjual senjata pada musuh, yang kemungkinan akan digunakan untuk membunuh.
d.      Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi kemungkinan terjadinya kemafsadatan. Contohnya baiy al ajal (jual beli dengan harga ysng lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan).
Kehujjahan Sadduz Zari’ah
Ulama yang berpegang atau yang menerima kehujjahan sadduz zari’ah sebagai dalil syara’ adalah ulama Malikiyah dan Hanabilah. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah SWT dalam surah al An’am ayat 108
(Alquran)
Hadis Rasulullah SAW
“ sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW ditanya, ‘wahai Rasulullah bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya. Rasulullah SAW menjawab: Seseorang yang mencaci-maki ayah orang lain, maka yahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya. (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Ulama Syafiiyah , Hanafiyah, dan Syiah menerima sadduz zari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafii menerima sadduz zari’ah apabila dalam keadaan uzur.
Sedangkan golongan Zahiriyah tidak mengakui kehujjahan sadduz zari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapka hukum syara. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nas secara harfiyah saja dan tidak menerima logika dalam masalah hukum.[2]
R. DILALAH IQTIRAN
1. Pengertian
Dilalah Iqtiran ialah apabila ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan yang lain karena kedua-duanya disebut bersama-sama dalam dalil itu juga. Iqtiran artinya bersama-sama (berbarengan).

2. Pendapat Ulama tentang Dilalah Iqtiran
Sebagian golongan Hanafiyah dan sebagian golongan Syafi’iyah serta Malikiyah menggunakan dilalah iqtiran. Jumhur ulama tidak membenarkan menetapkan hukum dengan dilalah iqtiran. Misalnya kuda tidak wajib dizakati sebagaimana keledai juga tidak wajib dizakati., karena keduanya disebutkan bersama-sama dalam satu ayat sebagaiman Firman Allah SWT berikut ini


Artinya : dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (An-Nahl : 8) Jika keledai tidak wajib dizakati maka kudapun tidak wajib dizakati juga. Dalam hal ini wau athaf menunjukkan bersekutu (berbarengan) tentu saja bersekutu di dalam hukumnya. Kalau yang satu wajib yang lainnya juga wajib. Bagi yang berpendapat bahwa dilalah iqtiran tidak dapat dijadikan sebagai hujjah bahwa dua hal yang hukumnya sama yang disebutkan secara berbarengan bukan karena dilalah iqtiran tapi semata-mata karena keduanya itu mempunyai illat yang sama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT sebagi berikut :
Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, (Al-Fath : 29)
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad SAW adalah Rasul Allah sedangkan orang-orang yang besertanya bukan Rasul, mereka ini keras terhadap orang-orang kafir, dan berkasih saying antara sesamanya

KESIMPULAN

Ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam menetapkan sesuatu hal pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa.
Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh. Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.,

DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.
Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.

Kasuwi Saiban. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
Masjfuk Juhdi. 1981. Ijtihad dan Problematikanya dalam memasuki abad XV
Hijriyah. Surabaya: Bina Ilmu.
Muhammad Abu Jahrah. t.t. Ushul Al-Fiqh. Kairo. Darul Fikri Al-‘Arabi.
Syed Muhammad Musa. 1971. Al-Ijtihad. Kairo; Darul Fikri.







[1]Amir Syarifuddin. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta. PT. Logos Wacana Ilmu. 2001. Hal: 399-400
[2] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 132-139

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © JhodyMrazBraine -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -