Posted by : yudi Kamis, 22 Januari 2015

Oleh: Yudhi Alhamdi Amras, S.Pd.I
                                      
A.      Latar Belakang Masalah
       Secara umum, tujuan pendidikan ialah membawa anak pada kedewasaan-nya, yang berarti bahwa ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertang-gung jawab kepada dirinya sendiri. Anak harus dididik menjadi seorang yang mampu mengenal dan berbuat menurut kesusilaan.[1] Karena itu, pendidikan bertujuan untuk membawa peserta didik kepada kedewasaannya sehingga ia mampu bertanggung jawab kepada dirinya dengan dilandasi pada aturan norma dan moral.
       Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) sebagaimana yang dikutip dalam buku Filsafat Pendidikan Islam karya Abbudin Nata mengatakan bahwa tujuan dari suatu pendidikan ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kekayaan dan jabatan.[2] Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 sebagai berikut:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ                    
Artinya: “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadaku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)[3]
       Ath-Thabathaba’i  sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Quraish Shihab di dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan jin dan manusia suatu kebebasan memilih akal dan kemampuannya demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjalankan aktifitas kesehariannya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.[4]
       Berdasarkan penjelasan tafsir di atas dapat dipahami bahwa pendidikan bertujuan untuk membawa peserta didik melalui potensi akal dan kemampu-annya dalam membentuk intelektual, kepribadian dan keterampilan yang ber-manfaat untuk dirinya dan masyarakat yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
       Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani sebagaimana yang dikutip oleh M. Arifin berpendapat, bahwa:
“Tujuan dari pendidikan ialah perubahan yang diingini yang diusahakan dalam proses pendidikan atas usaha pendidikan untuk mencapainya, baik dari tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.”[5]

       Undang-undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (bab II pasal 3, dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan) juga menjelaskan:
“Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang berdemokrasi dan bertanggung jawab.”[6]

       Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan adalah membentuk pribadi yang cakap, cerdas, mandiri, dan berkepribadian. Tujuan akhir dari suatu pendidikan ialah adanya suatu peru-bahan yang telah melalui proses secara berkala dalam rangka mengembang-kan intelektual, emosional, dan spiritual sehingga mampu menghadapi segala perubahan dan permasalahan yang ada di dalam dirinya dan masyarakat di sekelilingnya. Pendidikan tidak hanya berfungsi menciptakan pribadi yang cakap dalam intelektualnya. Akan tetapi diharapkan adanya kecakapan yang seimbang antara intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik.
       Bila dikaitkan dengan perkembangan moral, pendidikan moral sangat dibutuhkan dalam perkembangan kepribadian seseorang, terutama remaja. pengenalan nilai-nilai moral ini harus diajarkan sejak dini yang dimulai dari lingkungan keluarga, lingkunan sekolah, maupun di lingkungan masyarakat.
       Menurut Muhammad Alim, Moral adalah keterikatan pada norma-norma spiritual yang telah ditetapkan, baik yang bersumber pada ajaran agama, budaya masyarakat, atau berasal dari tradisi berpikir secara ilmiah. Keterikatan spiritual akan mempengaruhi keterikatan sikapnya terhadap nilai-nilai kehidupan yang akan menjadi pijakan utama dalam menetapkan suatu pengembangan perasaan dan dalam menetapkan suatu tindakan.
       Keterikatan pada norma-norma religius akan membentuk sikap tertentu dalam menyikapi segala persoalan. Moral yang dikembangkan atas pijjakan Agama, maka pertimbangan-pertimbangan moralnya akan le-bih berorientasi pada kewajiban Agama.[7] Cara agar norma-norma religius dapat tertanam dalam diri individu ialah dengan adanya pembinaan akhlak sejak usia dini.

       Dalam dunia pendidikan, akhlak sangat berpengaruh dengan dunia pen-didikan yakni membentuk insan kamil (manusia paripurna). Muhammad Athiyyah al-Abrasyi yang dikutip dari Muhammad al-Toumi al-Syaibani  telah menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yang salah satu tujuannya ialah untuk membentuk akhlak yang mulia. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
       Dalam mengenal dunia pendidikan, maka akhlak juga sangat berpenga-ruh dalam metode pendidikan, sehingga menjadikannya salah satu ciri metode mengajar dalam pendidikan Islam. Di antara ciri-ciri umum yang paling menonjol adalah berpadunya metode dan cara-cara, dari segi tujuan dan alat, dengan jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia.[8]
       Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah membentuk akhlakul karimah. Dengan adanya akhlakul karimah, dapat menjadikan peserta didik memiliki moralitas yang baik, sehingga ia dapat mengkonsep dirinya sehingga terbentuklah kepribadian yang kokoh.
       Mata pelajaran akidah akhlak merupakan satu dari empat mata pelajaran agama Islam yang dipelajari di madrasah atau di sekolah. Pelajaran ini penting dalam menjadikan siswa yang berakhlak mulia dan peduli terhadap sesama manusia. Selain itu juga membantu dalam memberikan bekal dan menyiapkan siswa dalam hidup bermasyarakat di tempat tinggalnya. Jadi, tidak hanya mata pelajaran umum saja yang dikedepankan, melainkan juga pelajaran agama seperti mata pelajaran akidah akhlak dan mata pelajaran agama yang lain. dengan adanya keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum, tidak hanya  menjadikan para siswa cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual.
       Tampaknya masih banyak dari kita yang mengidentikkan kecerdasan dengan IQ (Intelligence Quotient) atau menghubung-hubungkan kecerdasan seseorang dengan siswa yang hanya tinggi dalam hal intelektualnya. Pelaksanaan pendidikan yakni lebih mengutamakan kecerdasan intelektual tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional dan spiritual pada akhirnya akan menimbulkan perilaku buruk dari orang-orang terdidik.[9] Misalnya dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Kurikulum yang begitu padat, pemenuhan standar KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang tidak diimbangi dengan kemampuan belajar siswa danterlalu banyaknya pelaksanaan ujian seperti ulangan harian, ujian semester, UTS (ujian tengah semester), bahkan ditambah lagi pelaksanaak UN (ujian nasional) dengan standar yang begitu berat mennimbulkan rasa tertekan pada diri siswa. Dari sisi positifnya, siswa yang memiliki karakter yang baik akan semaksimal mungkin dalam belajar dan menganggap hal ini adalah sebuah tantangan bagi dirinya. Bila ia menga-lami kegagalan, ia akan berusaha mengintrospeksi dirinya agar senantiasa memperbaiki dan meningkatkan prestasi akademiknya. Akan tetapi, siswa yang berkarakter yang lemah bahkan cenderung pemalas  terlebih lagi yang memiliki kapasitas intelegensi yang terbatas akan merasa tertekan dengan banyaknya pelaksanaan ujian yang dihadapinya. Bila ia mengalami kegagalan ia akan merasa rendah diri dan selalu pesimis akan keberhasilan dirinya. Dalam kasus lain, karena kurangnya bimbingan dari orang-orang di sekelilingnya atau pelajaran yang ia pelajaran tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, siswa  akan merasa frustasi bahkan melakukan tindak kecurangan seperti menyontek dan lain sebagainya. Hal ini membuat jalannya proses pembelajaran menjadi kurang menyenangkan bagi siswa.
       Dampak yang paling terlihat adalah kurangnya atensi belajar yang dirasa-kan oleh sebagian besar siswa dan bertindak di luar hal yang tidak semestinya mereka kerjakan. Bentuk-bentuk kenakalan remaja terutama remaja yang ada di kota-kota besar seperti semakin meningkatnya tawuran antar pelajar, ada-nya pemerasan/kekerasan (bullying) di kalangan pelajar, kecenderungan do-minasi senior terhadap yunior, penyalahgunaan narkoba dan lain sebagai-nya. Bahkan yang paling memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui kantin kejujuran di sejumlah sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha Kantin Kejujuran yang bangkrut karena belum bang-kitnya sifat jujur pada anak-anak. Sementara itu berdasarkan informasi dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan terdapat 3,6 juta pecandu nar-koba di Indonesia.”[10]
       Fenomena di atas dapat memperkuat suatu bukti bahwa kecerdasan inte-lektual saja tidaklah cukup. Maka sangat dibutuhkan suatu konsep diri yang matang agar mereka mampu menyelesaikan segala masalahnya dengan tenang dan bijak. Konsep diri merupakan salah satu aspek perkembangan psikososial peserta didik yang harus dipahami oleh seorang guru. Seifert dan Hoffnung dalam buku yang berjudul “Psikologi Perkembangan Peserta Didik” karangan Desmita mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemaha-man mengenai diri  atau ide tentang diri sendiri.[11] Hal ini karena konsep diri merupakan salah satu bagian yang sangat menentukan dalam proses pen-didikan. Banyak bukti penyimpangan-penyimpangan siswa di kelas banyak disebabkan oleh persepsi dari sikap negatif siswa terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdaan spiritual (SQ) agar siswa bisa memahami dirinya dengan baik. Dengan konsep diri yang baik, akan membantu siswa dalam perkembangan emosinya sekaligus membantu perkembangan mentalnya dalam mencapai identitas diri.
       Sebuah contoh, misalnya ada seorang siswa yang gagal setelah menempuh ujian, dengan konsep diri yang baik ia akan mampu mengintro-speksi penyebab kegagalan yang dialaminya, sehingga ia akan mampu bangkit dari keterpurukannya dan berusaha memperbaiki kekurangan yang ada di dalam dirinya. Contoh lain, misalnya ketika siswa SMA yang akan lulus dari sekolahnya dan akan dihadapkan pada sejumlah pilihan penjurusan dalam perkuliahan. Ia akan merasa bingung dengan pilihan yang akan dia ambil. Di sinilah peran konsep diri seorang siswa dibutuhkan, karena dengan memiliki konsep diri yang baik, seseorang akan mudah memenuhi tujuan hidupnya, mampu mengatasi segala konflik yang ada di dalam dirinya dan menginstrospeksikannya.
       Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa konsep diri mem-punyai pengaruh yang besar terhadap kesuksesan seseorang yang menurut Howard Gardner yang merupakan bagian dari kecerdasan intrapersonal. Howard Gardner (1982) mengemukakan penemuannya mengenai beberapa tipe kecerdasan yang dimiliki manusia yang dinamakan dengan multiple intelligences.[12]
       Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan mengenai diri sendiri. Kecerdasan ini adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri dan ber-tanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Orang-orang yang berkecerdasan intrapersonal tinggi cenderung menjadi pemikir yang tercermin pada apa yang mereka lakukan dan terus-menerus membuat penilaian diri.[13]
       May Lwin dalam bukunya Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan berpendapat:
“Kecerdasan intrapersonal sangat penting bagi setiap orang yang ingin menguasai kendali atas kehidupannya. Dengan kecerdasan intrapersonal yang baik, ia akan mampu mengembangkan pemahaman yang kuat mengenai diri yang dibimbingnya kepada kestabilan emosional, mampu mengendalkan dan mengarahkan emosi, mampu mengatur dan memotivasi dirinya, mampu bertanggung jawab atas kehidupan sendiri,  serta mampu mengembangkan harga diri yang tinggi yang merupakan dasar bagi keberhasilan.”[14]

       Mata pelajaran Akidah Akhlak merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang dimungkinkan mampu mengembangkan kecerdasan intrapersonal siswa. Prestasi belajar yang diraih para siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak ini dapat dikatakan berhasil apabila memenuhi tiga raha tiga ranah, yakni pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, sedangkan prestasi belajar dianggap kurang memuaskan apabila tidak memenuhi tiga ranah tersebut. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah melakukan evaluasi. Hasil dari evaluasi tersebut dapat memperlihatkan tinggi rendahnya prestasi belajar siswa.
       Prestasi belajar Akidah Akhlak merupakan hasil yang dicapai seseorang di dalam melakukan kegiatan belajar, melalui penguasaan dan  keterampilan dalam mata pelajaran Akidah Akhlak, di mana hasil yang dicapai ditunjuk dengan nilai ulangan ataupun  raport. Adapun tindakan tingkah laku (akhlak) peserta didik (remaja) tersebut juga di pengaruhi oleh berbagai faktor, pendidikan, lingkungan, maupun keluarga. Dalam masa remaja ini merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa.
       Dengan prestasi belajar Akidah Akhlak yang telah dicapai oleh peserta didik sangat dimungkinkan dapat meningkatkan  kecerdasan intrapersonal peserta didik sehingga dapat menjadi bekal bagi mereka dalam mengen-dalikan emosi dirinya, mampu memotivasi dirinya, serta dapat mengkonsep dirinya dengan baik dan terarah. Akan tetapi, hal demikian belum cukup untuk menjamin seorang siswa mampu melaksanakan apa yang ia lakukan di sekolah.




[1] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda, 2009) cet. 9, h. 19.
[2] Abbudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) cet. 1, h. 212.
[3] Tim Penyusun Penerjemahan al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Pentafsiran al-Qur’an, 1971) , h. 862.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007) cet. 7, h. 358.
[5] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) cet. 4, h. 29.
[6] Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, (Bandung: Fokusmedia, 2009), h. 5-6.
[7] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Kepribadian dan Pemikiran Muslim. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006) h. 9.
[8] Umar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Tripoli: al-Syarikah al-Ammah li an-Nasyr at-Tauzi wa al-Ilkan, 1975), h. 583.
                [9] Akhmad Muhaimin Azzei, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, (Sleman: Ar-Ruzz Media, 2011), cet. 1, h. 27.
[10] Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Renaja Rosdakarya, 2011), cet. 1, h. 2-6.
[11] Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta didik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, cet. 1, h. 163.
[12] Thomas Amstrong, Sekolahnya Para Juara, diterjemahkan oleh Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2003), cet. 2, h. 1
[13] May Lwin. dkk, Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan diterjemahkan oleh Christine Sujana, (Yogyakarta: Indeks, 2008), cet. 2, h. 233.
[14] Ibid, h. 234.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © JhodyMrazBraine -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -