Posted by : yudi Jumat, 08 Juni 2012


PENDAHULUAN
Dasar-dasar ajaran Islam tentang halal dan haram, kaum jahiliyah sering kali tersesat dalam permasalahan halal dan haram, sama seperti permasalahan-permasalahan yang lainnya. Mereka selalu kacau dalam urusan mana yang halal dan mana yang haram, sampai-sampai mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram juga baik. Begitu juga keadaanya dengan kaum-kaum yang lain seperti penyembah-penyembah berhala (watsaniyyin) dan pengikut agama-agama Kitabiyah.[1]
Menurut al-Hakim, kemudian Rasulullah membaca ayat 64 surah Maryam, “Dan tidaklah Tuhanmu itu lupa.”
Salman Al-farisi meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang samin, keju, dan keledai hutan. Maka Nabi saw, bersabda,
“Yang halal adalah apa saja yang telah Allah halalkan di dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa saja yang telah Allah haramkan di dalam kitab-Nya. Dan apa yang Allah diamkan, maka ia adalah kemaafan dari Allah untukmu.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Islam adalah agama yang universal yang selalu membahas berbagai macam seluk beluk, hubungan kehidupan manusia dengan manusia, dan mengenai kesehatan pun, Islam juga membahas mengenai halal dan haramnya. Oleh karena itu, dalam permasalah mengenai haram dan haram mengenai transplantasi organ tubuh dan hukum melukai tubuh dalam Islam, pemakalah akan menjabarkan, hukum yang terdapat dalam kitabullah-Nya.
Ketika Rasulullah ditanya mengenai hal-hal kecil tentang halal-haramnya sesuatu, beliau tidak mau menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi Rasulullah memberikan suatu kaedah pokok di mana mereka dapat merujuk kepadanya untuk mengetahui halal-haramnya sesuatu.
                                                                                                                       








PEMBAHASAN
A.    Pengertian Transplantasi
Transplantasi dari bahasa Inggris transplantation, to transplant yang berarti to take up and plant to another (mengambil dan menempelkan pada tempat lain). Atau to move from one place to another[2] (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain). Transplantasi juga berarti pencangkokan.
Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti usaha memindahkan sebagian dari bagian tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Atau upaya medis untuk memindahkan sel, jaringan (kumpulan sel-sel), atau organ tubuh dari donor kepada resipien.
Dalam pelaksanaan transplanatsi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya: pertam; donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit, atau terjadi kelainan. Kedua; resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya harus diganti. Ketiga; tim ahli, yaitu para dokter yang menangani oprasi transplantasi dari pihak donor kepada resipien.
Bertalian dengan donor, transplantasi dapat dikategori kepada tiga tipe, yaitu:
1.      Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam tipe ini diperlakukan seleksi yang cermat dan harus diadakan general chek up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh) baik terhadap donor, maupun terhadap resipien.
2.      Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat control dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya.
3.      Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan dicangkokan diambil ketika donor sudah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis.[3]



B.  Pembagian Transplantasi
1.    Dari segi jenis transplantasi yang dipakai:
a.    Transplantasi jaringan, misalnya: kornea mata.
b.    Transplantasi organ, seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
2.    Dari segi hubungan genetik antara donor-resipien:
a.    Autotransplantasi, dimana resipien dan donor adalah satu individu.
b.    Homotransplantasi = Allotransplantasi, dimana resipien dan donor adalah individu yang sama jenisnya.
c.    Heterotransplantasi = Xenotransplantasi, dimana resipien dan donor adalah dua individu yang berbeda jenis, misalnya transplantasi jaringan atau organ dari binatang ke manusia.
C.  Tujuan Transplantasi
Transplantasi pada dasarnya bertujuan untuk:
1.    Kesembuhan dari suatu penyakit, misalnya kebutaan, rusaknya jantung dan ginjal dan sebagainya.
2.    Pemulihan kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami kelainan, tapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis, contoh, Bibir sumbing.
Ditinjau dari segi tingkatan tujuannya, ada “Tingkat dihajatkan” dan ada “Tingkat dharurat”.
1.    Tingkat dihajatkan yaitu transplantasi semata-mata pengobatan dari sakit atau cacat yang kalau tidak dilakukan dengan pencangkokan tidak akan menimbulkan kematian, seperti transplantasi kornea mata dan bibir sumbing.
2.    Tingkat dharurat yaitu transplantasi sebagai jalan terakhir yang kalau tidak dilakukan akan menimbulkan kematian, seperti transplantasi ginjal, hati dan jantung.
D.  Hukum Transplantasi
1.    Hukum transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan hidup sehat.
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya haram, dengan alasan:
a.    Firman Allah dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 195:
...ولا تلقوا بأيديكم إلى التّهلكة...(سورة البقرة: ۱۹۵ )
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…(al-Baqarah: 195)

Ayat tersebut mengingatkan, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu ia masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko, suatu waktu akan mengalami ketidakwajaran, karena mustahil Tuhan menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sukar untuk ditolong kembali. Sama halnya menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam kaidah fiqh disebutkan:
الضرر لا يزال بالضرر                                   
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.
      
b.    Qaidah fiqhiyah
درء المفاسد مقدّم على جلب المصالح
Menghindari kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan”.
Berkenaan dengan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan memelihara dirinya dari kebinasaan, dari pada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri, akhirnya ia tidak dapat melaksanakan tugasnya dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
2.    Hukum transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup, meskipun dalam keadaan koma, hukummnya tetap haram walaupun menurut dokter bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah.
Mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma tidak boleh, menurut Islam dengan alasan sebagai berikut:
a.    Hadits Nabi:
Tidak boleh membuat mudharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat mudharat pada orang lain”.
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan sekarat/koma haram hukumnya karena dapat membuat mudharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.
b.    Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi  mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati itu berada di tangan Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
3.    Hukum transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan telah meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam, dengan syarat bahwa resipien dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal, tetap tidak berhasil. Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau izin dari ahli warisnya.[4]
Di masa Rasulullah sendiri, pernah terjadi penyembuhan organ tubuh, seperti yang dikisahkan dalam sebuah hadits :
Sebagaimana riwayat Tirmidzi dari Arfajah bin As’ad, dia berkata, “Sesungguhnya hidungku kena musibah pada waktu peristiwa Kulab, lalu aku membuat hidung dari perak, tetapi hidung dari perak itu menimbulkan bau busuk padaku. Maka nabi Shallahu Alaihi Wasalam, memerintahkan kepadaku agar aku membuat hidung dari emas.”

Tirmidzi berkata, ‘Diriwayatkan lebih dari seorang diantara ahli ilmu bahwa mereka menambal gigi mereka dengan emas.” [5]
Ada juga pendapat yang mengatakan mendonorkan organ tubuh dari manusia yang sudah meninggal hukumnya haram. Dalilnya: Kesucian tubuh manusia, setiap bentuk agresi atau tubuh manusia merupakan hal yang terlarang. Diantara haditsnya:
كسر عظم الميت ككسره حيا
“Memecah tulang orang yang meninggal seperti memecah tulangnya ketika masih hidup” HR. Abu Dawud dan Ibnu Majjah dan dishahihkan oleh Syeikh- Al-Albany).

Sementara mengambil jantung dan ginjal misalnya lebih besar perkaranya dari hanya sekedar memecah tulang. Tubuh manusia adalah amanah. Hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga, karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkannya kepada orang lain. Tubuh manusia tidak boleh diperlakukan sebagai benda material semata; tubuh manusia bukanlah benda material semata yang dipotong dan dipindah-pindahkan.

Kemudian ada lagi persoalan lain yang dipertanyakan, yaitu mengenai donor dan resipien yang berlainan agama, dan organ tubuh yang dicangkokan itu berasal dari hewan yang diharamkan seperti babi.
Kekhawatiran orang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang berlainan agama ataupun kepada orang yang berbuat maksiat, memang cukup beralasan. Sebab, bila resipien dapat tertolong dengan organ tubuh itu, berarti perbuatan maksiatnya akan berkelanjutan. Menolong orang yang berlainan agama juga demikian. Orang yang selama ini buta, tetapi karena dia menerima mata, kemungkinan ia akan melihat yang maksiat. Dosa-dosa inilah dikhawatirkan akan dipikul oleh para donor itu.
Kekhawatiran itu akan terjawab oleh ayat berikut, Allah berfirman
و انّ ليس للإنسان الاّ ما سعى . و أنّ سعيه سوف يرى . ثمّ يجزاه ابجزاء الأوفى (سورة النجم: ۳۹-٤۱)
Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahaakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberu balasannya dengan balasan yang paling sempurna (an-Najm: 39-41).

Allah berfirman:
ألاّ تزر وازرة وزر أخرى (سورة النجم: ۳۸)
”Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (an-Najm: 38).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, bahwa seseorang akan mendapat balasan sesuai dengan amalnya di dunia. Demikian juga, dosa orang lain pun tidak menjadi tanggung jawabnya.[6]
Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang, ada dua kasus yaitu:
Kasus pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi, kerbau, kambing). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit.
Kasus kedua: Binatang tersebut najis/haram seperti babi atau bangkai binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat, dan tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: Berobatlah Wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqih disebutkan Aal-Dharurat Tubih al-Mahzhuraat” (Darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram).
Adapun dalil-dalil yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan transplantasi organ tubuh, antara lain:
a.    Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah disebutkan pada pembahasan yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
b.    Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 32: Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam.
c.    Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2: Dan tolong menolonglaah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa.

E.  Pengertian Hukum Melukai Anggota Tubuh
Pengertian kejahatan pada jiwa, kejahatan pada jiwa adalah pelanggaran atas manusia dengan membunuhnya atau menghilangkan sebagian anggota tubuhnya atau melukai tubuhnya.
Melukai anggota tubuh yang dimaksudkan di sini adalah bahwa seseorang melakukan pelanggaran atas orang lain, misalnya membutakan matanya, membuatnya pincang atau mematahkan tangannya.[7]


F.   Hukum Kejahatan pada Jiwa 
Membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah haram, demikian pula dengan menghilangkan atau melukai bagian tubuhnya dalam bentuk apapun. Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekafiran kecuali membunuh seesorang  mukmin, berdasarkan firman Allah :
عَظِيمًا عَذَابًا لَهُ وَأَعَدَّ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ اللّهُ وَغَضِبَ فِيهَا خَالِدًا جَهَنَّمُ فَجَزَآؤُهُ مُّتَعَمِّدًا مُؤْمِنًا يَقْتُلْ وَمَن
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (An-Nisa:93)

Kejahatan pada jiwa terdiri dari tiga macam, yaitu :
1.      Pembunuhan dengan disengaja, yaitu pelaku kejahatan sengaja ingin membunuh atau melukai seorang mukmin, lalu mendatanginya dan memukulnya dengan besi, tongkat, batu atau menjatuhkannya dari tempat tinggi, menenggelamkannya ke dalam air, membakarnya dengna api, mencekiknya atau memberinya racun.
2.      Seperti disengaja, yaitu bahwa pelaku kejahatan tidak bermaksud membunuh, atau hanya ingin menggoreskan luka yang ringan pada sebagian anggota tubuhnya dengan sesuatu yang biasanya tidak membunuhnya, atau memukulnya dengan tangannya.
3.      Karena salah atau tidak disengaja, yaitu bahwa seorang muslim melakukkan suatu tindakan yang diperbolehkan seperti memanah atau berburu, atau memotong daging hewan, tetapi alat dipergunakannya meleset sehingga mengenai seseorang yang menyebabkan kematiannya atau melukainya.
Hukum atas perbuatan yang tidak disengaja ini adalah sama seperti ketantuan yang kedua, tetapi dendanya lebih ringan, dan pelakunya tidak berdosa, berbeda dengan pelaku kejahatan seperti disengaja, maka dendanya lebih berat dan pelakunya berdosa.








KESIMPULAN
Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti usaha memindahkan sebagian dari bagian tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Atau upaya medis untuk memindahkan sel, jaringan (kumpulan sel-sel), atau organ tubuh dari donor kepada resipien.
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya haram, Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup, meskipun dalam keadaan koma, hukummnya tetap haram, Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah.
Pengertian kejahatan pada jiwa, kejahatan pada jiwa adalah pelanggaran atas manusia dengan membunuhnya atau menghilangkan sebagian anggota tubuhnya atau melukai tubuhnya.
Melukai anggota tubuh yang dimaksudkan di sini adalah bahwa seseorang melakukan pelanggaran atas orang lain, misalnya membutakan matanya, membuatnya pincang atau mematahkan tangannya. Membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah haram, demikian pula dengan menghilangkan atau melukai bagian tubuhnya dalam bentuk apapun.
















DAFTAR PUSTAKA

     Ali Hasan, M Masail Fiqhiyah Al-Haditsan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
     Bakar Jabir al-Jaza’iri, Abu Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Jakarta:   Darul Haq, 2008.
Brown, Keith, Oxford Advanced Learner’s Dicionary, 2000.
     Nata, Abuddin, Masail Fiqhiyah, Bogor: Kencana, 2003.
    Qaradhawi,  Yusuf,  Halal Haram dalam Islam,  Jakarta: Akbar, 2005.
    Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah jilid 4, Jakarta Pusat: Pena ilmu dan amal, 2004.


       [1] Yusuf Qaradhawi,  Halal Haram dalam Islam,  (Jakarta:Akbar, 2005),  H, 17.
       [2] Keith Brown, Oxford Advanced Learner’s Dicionary, (2000), H,1438.
      [3] Abuddin Nata, Masail Fiqhiyah, (Bogor: Kencana, 2003),  H, 101.                                                                              
                [4] Abuddin Nata,…h,103-107
[5]  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, (Jakarta Pusat: Pena ilmu dan amal, 2004),  h, 404.
       [6] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), H, 125-126.
       [7]  Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal dalam Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2008), H, 625.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © JhodyMrazBraine -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -