Archive for Juni 2012
MAHMUD YUNUS DAN PEMIKIRANNYA DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Oleh: YudhiAlhamdiAmras
(109011000210)
A.
RIWAYAT
HIDUP
Prof. Dr. H. Mahmud YunusDilahirkan di
batusangkarpadatanggal 10 Februari 1899 danwafatpadatanggal 16 Januari
1982.Sejakkecil, Mahmud Yunussudahmemperlihatkanminatdankecenderungannnyayang
kuatuntukmemperdalamilmu Agama Islam.Ketikaberumur 7 tahun, iabelajarmembaca
al-Qur’an di bawahbimbingankakeknya MuhammadThahir yang
dikenaldengannamaEngkuGadang. setelahmenamatkan al-Qur’an, iamenggantikankakeknyasebagai
guru ngaji al-Qur’an. Duatahunkemudian,
iamelanjutkanstudikesekolahdesadankemudianmelanjutkanstudike Madras School.
Selanjutnyapadatahun 1917, iabersamateman-temannyamengajar di Madras School
denganmemperbaruisistembelajarmengajardenganmenambahsistemhalaqah di
sampingsistem madrasah denganmenggunakankitab-kitabmutakhir.[1]
Denganbekalkemampuanbahasa Arab yang sangatbaik,
padatahun 1924 Mahmud YunusmelanjutkanstudinyakeUniversitas al-Azhar di Kairo,
Mesir.Disanaiamemperdalamilmu-ilmu agama danbahasa Arab. Setelah lulus
dariUniversitas al-Azhar, iamelanjutkanstudinyakeDarulUlumdanmendapatkangelar
diploma denganspesialisasidalambidangpendidikan.[2]
Selainmenjadi guru,
iajugaaktifdalamkegiatan-kegiatanlainnya. Mahmud YunussangataktifdanmenjadipenggerakutamadalamorganisasiPGAI
(Persatuan Guru-Guru Agama
Islam).Iajugamemprakarsaiberdirinyaperkumpulanparapelajar Islam
Btusangkardengannama Sumatera Thawalibdanberhasilmenerbitkanmajalah Islam
dengannamaal-Basyir .
Padatahun 1931, iamendirikanlembagapendidikan Islam
modern dengannama Normal islam School. Mahmud Yunusjugamendirikan STI
(SEkolahtinggi Islam) di bawahnaunganorganisasi PGAI.Padatanggal 1 Januari 1951,
iadipercayamenjadikepalapenghubungpendidikan Islam padaDepartemen Agama. Mahmud
Yunusturutmemprakasaiberdirinya ADIA (akademiDinasIlmu Agama-sekarang UIN
Syarifhidayatullah) di Jakarta padatahun 1959 daniamenjadidekanpertamanya.
Selainitu, Mahmud
Yunusjugaaktifdanproduktifdalammenulis.Tidakkurangdari 49
karyatulisdihasilkannyadalambahasa Indonesia dan 26 karyatulisdalambahasa Arab.
B. USAHA-USAHA
DAN PEMIKIRANNYA DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Mahmud Yunusialahtokoh yang
memilikiperhatiandankomitmen yang besardalammengembangkandanmeningkatkanpendidikan
Islam.Gagasandanpemikirannyadalampendidikanbersifatstrategisdanmerupakankaryaperintis,
dalamartibelumpernahdipikirkandandilakukanolehtokoh-tokohsebelumnya.Pemikirannyadapatdilihatdalambeberapaaspek,
diantaranyadaritujuanpendidikan, metodepengajaran, kurikulum, sertakelembagaan.
Pertama, dariaspektujuanpendidikanislam.
Berkaitandengantujuanpokokpendidikan Islam, Mahmud Yunusmerumuskanduahal,
yaituuntukkecerdasanperseorangandankecerdasanmengerjakanpekerjaan. Ada yang
berpendapatbahwatujuanpendidikan Islam ialahmempelajarisertamengetahuiilmu-ilmu
agama Islam danmengamalkannya, sepertiilmutafsir, hadis, fikih, dan lain
sebagainya. Tujuaninilah yang dipakaioleh madrasah-madrasah di
seluruhdunia.Bahkanadaulama yang
mengharamkanmempelajariilmupengetahuanumumsepertiFisikadan
Kimia.Tujuansepertiinilahmenurut Mahmud Yunusyang membuat Islam
lemahdantidakbisamempertahanankemerdekaannya.
Tujuanpendidikanislammenurut Mahmud
Yunusialahmenyiapkananak-anakdidik agar dewasakelakmerekasanggupdancakapmelakukanpekerjaandanamalanakhirat
,sehinggaterciptakebahagiaanduniadanakhirat. [3]
Kedua, dariaspekkurikulum. Mahmud
Yunusmemilikigagasan yang tergolongbaru , yang padamasa yang
akandatangcukuprelevanuntukdipelajaripadamasa yang akandatang.
Berkaitandengankurikulumbahasa Arab, Mahmud
Yunusmenawarkanpengajarankurikulumbahasa Arab yang
terintegrasiantarasatucabangdengancabanglainnyadalamilmubahasaArab.seoranganakdidikdiberikancabang-cabangilmubahasa
Arab yang
dipadukannyadenganmenerapkannyadalamkehidupansehari-hari.Metodeinikemudiandipakaidandilaksanakan
di pesantren Darussalam Gontor.Tidakhanyaitu, Mahmud Yunusberusahamenggabungkanmatapelajaran
Agama, umumdankebahasaanpadalembagapendidikanyang dipimpinnya.[4]
Ketiga, dalambidangkelembagaan, Mahmud YunusMengubahsistempendidikandari
yang bercorak individual kepadasistemklasikal.Kebanyakanpesantren-pesantrenatausuraupadamasaitumemakaimetodesoroganatauhalaqahdalampendidikannya.
Ketika
Mahmud YunusmemperkenalkanKulliyah al-Mu’allimin al-Islamiyahpadatahun 1931,
dimanapelaksanaanpengajaran di kelas-kelasdenganjadwaldankurikulum yang sudahditetapkan.Jenjangkelaspundiaturdaridarikelas
I sampaikelas IV setingkatAliyah.
Keempat, dalamaspekmetodepengajaran. Mahmud
Yunusmempersiapkanbukupeganganbagi guru-guru
agamadenganjudul “MetodikKhususPendidikan Agama” yang
berisibagaimanacaramengajar agama yang baikdaritingkat SD
sampaiperguruantinggi. Di dalambukutersebut, Mahmud Yunusmemncobamerangkumbeberapakaidahmengajar,
antara lain dengankeharusanseorang guru agar menghubungkanpelajaran yang
barudenganpelajaran yang sebelumnya. Selainitu, dalambukutersebut, Mahmud Yunusjugamemberikancara-caramembangkitkanminatdanperhatianpesertadidikdengancaramengaktifkanpancainderamereka
,baiklisan, tulisan, perbuatan, maupunalatperaga.[5]
Pemikiran Mahmud
YunusDalambidangpendidikantampakjelaskaitannyadenganupayamenciptakansumberdayamanusia
yang terbinaseluruhpotensidirinya,
sehinggaiadapatmelaksanakantugas-tugasnyasebagaikhalifah di mukabumidalamarti
yang seluas-luasnya, yaitudapatmengambilperandalampembangunanummat. Dar
sekianpemikirannya, tampakgagasandanpemikiran Mahmud
Yunusmasihcukuprelevanuntukdiaplikasikan di masasekarang.
[1]Prof. Dr. H. AbbudinNata, Tokoh-TokohPembaharuanPendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta,(Rajawali Press, 2005) h. 57 cet. 1
[2]Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh diAbad 20
(Jakarta: GemaInsani Press, 2006) h. 86
[3]Mahmud Yunus, Pokok-PokokPendidikandanPengajaran(Jakarta:hidakarya,1990)
h. 11-19 cet. III
[4]Mahmud Yunus, SejarahPendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: al-Hidayah,1971)
[5]Prof. Dr. H. ArmaiArief, MA, PembaharuanPendidikan Islam di Minangkabau
(Jakarta: Suara ADI, 2009) h. 150 cet. I
PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH UMUM
Oleh: Yudhi Alhamdi Amras
- PENDAHULUAN
Allah
s.w.t berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya “Allah
meninggikan berapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu
dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan).dan Allah maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. Ayat diatas merupakan landasan umat manusia untuk
melakukan proses internalisasi dan transformasi dua modal hakiki dalam kehidupan
iman dan ilmu. Kedua modal diatas merupakan dua hal yang harus disinergikan
agar tidak terjadi fluktuasi dalam dampak sosialnya.
Salah
satu ruang yang menjadi sarana untuk mencetak generasi bangsa yang beriman dan
berilmu adalah lembaga pendidikan atau sekolah. Terkait dengan artikel yang
penulis jadikan objek kajian ilmiah diatas, Madrasah sebagai suatu instansi
yang diandalkan oleh Kemenag memang suatu langkah yang sangat solutif dalam
mewujudan generasi yang beriman dan berilmu. Namun, madrasah adalah suatu
sampel yang minoritos dari generasi muslim di indonesia ini. Secara kuantitas,
jumlah siswa di sekolah-sekolah umum lebih mayoritas jika dibandingkan dengan
madrasah saat ini. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang urgen untuk menemukan
cara agar lembaga pendidikan umum juga mampu memproduksi generasi yang
demikian. Sebab jika harapan pembinaan generasi islam hanya tertumpuk pada
madrasah, maka akan terjadi proses pembiaran generasi islam yang menuntut ilmu
di Sekolah umum untuk terlepas dari sentuhan nilai-nilai pendidikan islam.[1]
Pendidikan Agama Islam di sekolah
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi mausia yang beriman dan
bertakwa kwpada tuhannya serta berakhlak mulia serta pengembangan potensi
spiritual pada diri peserta didik. Akhlak mulia meliputi etika, budi pekerti,
dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Potensi spiritual mencakup
pada pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaaanserta
pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.maka dari itu, maka
Pendidikan Agama Islam sangat diperlukan dalam membentengi diri peserta didik
dalam membentengi diri dalam tantangan aru budaya globalisasi .disini penulis
akan memberikan gambaran dari sejarah, proses, dan problematika Pendidikan
Agama Islam serta solusi dan tantangan PAI ke depan dalam pembinaan moral siswa
baik di SD, SMP, maupun SMA/SMK.[2]
- SEJARAH PERKEMBANGAN
Pada zaman penjajahan Belanda
pendidikan agama
Islam telah diberikan secara resmi di sekolah-sekolah umum, namun sifatnya
masih terbatas pada fakultas-fakultas hukum dengan mata kuliah islamologi dan
buku literaturnya di karang oleh orientalis. Melihat kondisi tersebut para
mubaligh baik secara perorangan ataupun tergabung dalam organisasi-organisasi
Islam telah melakukan tabligh yang biasanya dilakukan pada hari Jum'at atau
Minggu di sekolah-sekolah umum seperti : MULO (Meer Uitgebret Laber
Onderwijs, yang sekarang sama dengan SLTP), AMS (Algemene Middelbare
School, yang sekarang sama dengan SMU), dan juga di Kweek School (sama
dengan sekolah guru). Pendidikan agama yang tidak resmi tersebut sering
mendapatkan reaksi dari guru-guru yang tidak senang dengan Islam, namun
meskipun demikian perhatian siswa kenyataannya sangatlah besar karena mereka
benar-benar membutuhkan siraman rohani.
Islam telah diberikan secara resmi di sekolah-sekolah umum, namun sifatnya
masih terbatas pada fakultas-fakultas hukum dengan mata kuliah islamologi dan
buku literaturnya di karang oleh orientalis. Melihat kondisi tersebut para
mubaligh baik secara perorangan ataupun tergabung dalam organisasi-organisasi
Islam telah melakukan tabligh yang biasanya dilakukan pada hari Jum'at atau
Minggu di sekolah-sekolah umum seperti : MULO (Meer Uitgebret Laber
Onderwijs, yang sekarang sama dengan SLTP), AMS (Algemene Middelbare
School, yang sekarang sama dengan SMU), dan juga di Kweek School (sama
dengan sekolah guru). Pendidikan agama yang tidak resmi tersebut sering
mendapatkan reaksi dari guru-guru yang tidak senang dengan Islam, namun
meskipun demikian perhatian siswa kenyataannya sangatlah besar karena mereka
benar-benar membutuhkan siraman rohani.
Pada masa
pendudukan Jepang, pendidikan agama Islam di sekolah telah
mengalami kemajuan. Hal tersebut terjadi karena Jepang mengetahui rakyat
Indonesia sebagian besar beragama Islam, sehingga untuk mendapatkan simpati
dikembangkanlah pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah. Mulai saat itu
pendidikan agama Islam secara resmi boleh diajarkan di sekolah pemerintah,
namun hanya berlaku di daerah sumatra saja, sedang daerah yang lain masih
sebatas pelajaran budi pekerti yang pada hakekatnya bersumber pada ajaran
agama juga.[3]
mengalami kemajuan. Hal tersebut terjadi karena Jepang mengetahui rakyat
Indonesia sebagian besar beragama Islam, sehingga untuk mendapatkan simpati
dikembangkanlah pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah. Mulai saat itu
pendidikan agama Islam secara resmi boleh diajarkan di sekolah pemerintah,
namun hanya berlaku di daerah sumatra saja, sedang daerah yang lain masih
sebatas pelajaran budi pekerti yang pada hakekatnya bersumber pada ajaran
agama juga.[3]
Pendidikan Agama sejak Indonesia merdeka tahun 1945 telah
diajarkan di sekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama tahun 1945,
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara
telah mengirimkan surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan bahwa
pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang tetap
diperkenankan dan diganti namanya menjadi pelajaran Agama. Pada saat tersebut,
pendidikan agama belum wajib diberikan pada sekolah-sekolah umum, namun
bersifat sukarela/fakultatif, dan tidak menjadi penentu kenaikan/kelulusan
peserta didik.
Peraturan resmi pertama tentang
pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan
tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950
hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta).[4]
Pendidikan Agama berstatus mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah
umum mulai SD sampai dengan Perguruan Tinggi berdasarkan TAP MPRS nomor
XXVII/MPRS/1966 Bab I Pasal I yang berbunyi:”Menetapkan pendidikan agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai
dengan Universitas-Universitas Negeri”. Peraturan ini keluar dengan tanpa
protes, setelah penumpasan PKI.
Pelaksanaan Pendidikan Agama pada umumnya serta Pendidikan Agama
Islam pada khususnya di sekolah-sekolah umum tersebut semakin kokoh oleh
berbagai terbitnya perundang-undangan selanjutnya, hingga lahirnya UU nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih menjamin pemenuhan
pendidikan agama kepada peserta didik. [3] Dan diikuti dengan lahirnya
peraturan-peraturan selanjutnya sampai dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama
RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah.[5]
- LANDASAN PAI
Landasan
perundang-undangan sebagai landasan hukum positif keberadaan PAI pada kurikulum
sekolah sangat kuat karena tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas Bab V Pasal 12 ayat 1 point (a), bahwasannya setiap peserta didik
dalam setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 36 ayat 3 bahwasannya kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan taqwa. Dan pasal 37 ayat 1, bahwasannya kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama. Dengan merujuk beberapa pasal dalam UUSPN No. 20/2003, maka semakin jelaslah bahwa kedudukan PAI pada kurikulum sekolah dari semua jenjang dan jenis sekolah dalam perundang-undangan yang berlaku sangat kuat.
Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 36 ayat 3 bahwasannya kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan taqwa. Dan pasal 37 ayat 1, bahwasannya kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama. Dengan merujuk beberapa pasal dalam UUSPN No. 20/2003, maka semakin jelaslah bahwa kedudukan PAI pada kurikulum sekolah dari semua jenjang dan jenis sekolah dalam perundang-undangan yang berlaku sangat kuat.
Dalam PP No
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Pasal 6 ayat 1
dijelaskan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok
mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan
kesehatan.
Selanjutnya
pada pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C,
SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau
kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi,
estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Dari
beberapa landasan perundang-undangan di atas sangat jelas bahwa pendidikan
agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan
jalur pendidikan. Dengan demikian, eksistensinya sangat strategis dalam usaha
mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum.[6]
- VISI DAN MISI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Visi pendidikan agama islam di
sekolah umum adalah terbentuknya
peserta didik yang memiliki kepribadian yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan
terhadap Allah SWT. Serta tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia serta budi
pekerti kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan prilaku sehari-hari,
untuk selanjutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa.
Berdasarkan visi tersebut, maka misi pendidikan agama islam di sekolah
meliputi usaha-usaha sebagai berikut:
peserta didik yang memiliki kepribadian yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan
terhadap Allah SWT. Serta tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia serta budi
pekerti kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan prilaku sehari-hari,
untuk selanjutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa.
Berdasarkan visi tersebut, maka misi pendidikan agama islam di sekolah
meliputi usaha-usaha sebagai berikut:
1.
Melaksanakan pendidikan agama
islam sebagai bagian integral dari keseluhan
proses pendidikan di sekolah.
proses pendidikan di sekolah.
2.
Menyelenggarakan pendidikan agama
Islam di sekolah dengan mengintegrasikan aspek-aspek pengajaran, aspek
pengamalan dan pengalaman
(yang berarti bahwa kegiatan belajar mengajar di kelas harus diikuti dengan
pembiasaan pengalaman ibadah bersama di sekolah), kunjungan dan memperhatikan lingkungan sekitar, serta penerapan nilai-nilai dan normanorma
akhlak dalam prilaku sehari-hari.
(yang berarti bahwa kegiatan belajar mengajar di kelas harus diikuti dengan
pembiasaan pengalaman ibadah bersama di sekolah), kunjungan dan memperhatikan lingkungan sekitar, serta penerapan nilai-nilai dan normanorma
akhlak dalam prilaku sehari-hari.
3.
Melakukan penguatan posisi dan
peranguru agama islam di sekolah secara
terus menerus, baik sebagai pendidik maupun sebagai pembimbing dan
penasehat, dan sebagai komunikator dan penggerak bagi terciptanya suasana
keagamaan yang kondusif di sekolah.[7]
terus menerus, baik sebagai pendidik maupun sebagai pembimbing dan
penasehat, dan sebagai komunikator dan penggerak bagi terciptanya suasana
keagamaan yang kondusif di sekolah.[7]
- DASAR DASAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Adapun
yang menjadi dasar dari Pendidikan Agama Islam adalah al-Qur‘an yang merupakan
kitab suci bagi kita umat Islam yang tentunya terpelihara keaslian nya dari
tangan-tangan yang tak bertanggung jawab dan tidak ada keraguan di dalamnya, sebagaimana
Firman Allah Swt dalam Al-Qur‟an yaitu surat
Al-Baqarah ayat 2 . Serta al-Hadits yang merupakan sabda Nabi Muhammad saw.
Selain dari dua dasar yang paling utama tersebut, masih ada dasar yang lain
dalam negara kita khususnya seperti yang termuat dalam Undang-Undang Dasar
1945, pasal 29 ayat 1 dan 2. Ayat 1 berbunyi, Negara berdasarkan azas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ayat 2 berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam pasal ini kebebasan
memeluk agama dan kebebasan beribadah menurut agama yang dianutnya bagi warga
Indonesia telah mendapat jaminan dari pemerintah dan hal ini sejalan dengan
Pendidikan Agama Islam dan hal-hal yang terdapat di dalamnya. Pendidikan Agama
Islam mempunyai fungsi sebagai media untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada
Allah SWT, serta sebagai wahana pengembangan sikap keagamaan dengan mengamalkan
apa yang telah didapat dari proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
- RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Ruang
lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan
sesama manusia, dan ketiga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, serta
hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya. Ruang lingkup
Pendidikan Agama Islam juga identik dengan aspek-aspek Pendidikan Agama Islam
karena materi yang terkandung didalamnya merupakan perpaduan yang saling
melengkapi satu dengan yang lainnya. Apabila dilihat dari segi pembahasannya
maka ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang umum dilaksanakan di sekolah
adalah Ilmu Tauhid / Keimanan, Ilmu Fiqih, Al-Qur’an,
Al-Hadist, Akhlak dan Tarikh Islam.
- KARAKTERISTIK MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Setiap mata pelajaran memiliki ciri
khas atau karakteristik tertentu yang dapat membedakannya dengan mata pelajaran
lainnya. Begitu juga halnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Adapun
karakteristik mata pelajaran PAI adalah sebagai berikut:
1.
PAI
merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar)
yang terdapat dalam agama Islam, sehingga PAI merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari ajaran Islam.
2.
Ditinjau
dari segi muatan pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi
satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain yang
bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Semua mata
pelajaran yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan
yang ingin dicapai oleh mata pelajaran PAI.
3.
Diberikannya
mata pelajaran PAI, bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan
bertakwa kepada Allah Swt.
4.
PAI
adalah mata pelajaran yang tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat
menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana
peserta didik mampu menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Dengan
demikian, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi yang
lebih penting adalah pada aspek afektif dan psikomotornya.
5.
Secara
umum mata pelajaran PAI didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua
sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah/al-Hadits Nabi
Muhammad Saw. (dalil naqli). Dengan melalui metode Ijtihad (dalil aqli)
para ulama mengembangkan prinsip-prinsip PAI tersebut dengan lebih rinci dan
mendetail dalam bentuk fiqih dan hasil-hasil ijtihad lainnya.
6.
Prinsip-prinsip
dasar PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah,
syariah, dan akhlak.
7.
Tujuan
akhir dari mata pelajaran PAI adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki
akhlak yang mulia (budi pekerti yang luhur).[8]
- KONDISI FISIK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM
1.
Jumlah siswa
Berdasarkan data
Departemen Pendidikan Nasional, sekolah umum secara nasional berjumlah
224.170 sekolah dengan distribusi sebanyak 47.937 TK, 145.867 SD, 21.256 SMP,
dan 8.249 SLTA. Besarnya angka tersebut mengindikasikan besarnya garapan
strategis pendidikan agama Islam pada sekolah, sekali gus merupkan
tanggung jawab yang harus diemban. Namun data tersebut belum termasuk
sekolah-sekolah baru yang tidak terdata, karena berlokasi di daerah yang sulit
terjangkau. Oleh karena itu, jumlah yang ada dalam data tersebut menjadi indikator utama
perkembangan pendidikan agama pada sekolah.
Jumlah Sasaran
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
TK, SD, SMP,
SMA/SMK, & SLB
NO
|
STATUS
|
TK
|
SD
|
SMP
|
SMA/SMK
|
SLB
|
TOTAL;
|
1
|
Negeri
|
305
|
135.644
|
11.234
|
3.392
|
44
|
150.619
|
2
|
Swasta
|
47.632
|
10.223
|
10.022
|
4.857
|
817
|
73.551
|
TOTAL
|
47.937
|
145.867
|
21.256
|
8.249
|
861
|
224.170
|
|
Sumber data: Statistik Diknas 2003/2004,
* Statistik EMIS Depag 2003/2004.
Jika jumlah
tersebut dapat dioptimalkan, maka perkembangan pendidikan Islam pada sekolah
dapat berjalan dengan baik. Mengingat jumlah yang tertinggi adalah SD, maka
potensi pendidikan agama bisa mencapai dua tujuan sekaligus pada saat yang
sama. Pertama, pendidikan agama yang dilakukan di SD dapat menambah
kualitas masukan (quality of intakes) peserta didik. Hal ini diharapkan dapat
berpengaruh kepada peningkatan jumlah angka partisipasi sekolah kepada penduduk
usia 7-12 tahun yang hingga saat ini mencapai 96,8%. Kedua, pendidikan agama
yang dilakukan di SD dapat menjadi pendidikan karakter yang baik bagi peserta
didik pada usia awal perkembangan psikologisnya.
2.
Jumlah Guru
Pendidikan Agama Islam dan Siswa Muslim
Berdasarkan
data Departemen Pendidikan Nasional , jumlah total guru pendidikan agama
Islam di sekolah sebanyak 148.907 orang. Dengan distribusi di tiap jenjang
pendidikan, meliputi: guru agama yang berada di SD berjumlah 117.229
orang, di SLTP berjumlah 18.739 orang, serta di SLTA berjumlah 12.939 orang.
Jumlah ini juga merupakan wilayah sasaran binaan Ditpais dalam bidang peningkatan
kualitas ketenagaan. Angka tersebut juga mengindikasikan besarnya tuntutan
dan harapan terhadap peran Ditpais dalam peningkatan kualitas guru PAI di
semua jenis dan jenjang pendidikan.
Tabel 1: Jumlah
Guru PAI Berdasarkan Kualifikasi Pendidikan Akhir
NO.
|
STATUS
|
KUALIFIKASI
PENDIDIKAN AKHIR
|
TOTAL
|
||||
SMA
|
D
1
|
D
2
|
D
3
|
S
1
|
|||
|
Negeri
|
7.507
|
1.974
|
76.073
|
8.651
|
18.017
|
112.222
|
Swasta
|
369
|
140
|
.240
|
564
|
1.694
|
5.007
|
|
|
Negeri
|
180
|
61
|
670
|
2.863
|
9.578
|
13.352
|
Swasta
|
224
|
71
|
433
|
950
|
3.709
|
5.387
|
|
|
Negeri
|
29
|
9
|
155
|
783
|
5.270
|
6.246
|
Swasta
|
97
|
20
|
181
|
735
|
5.660
|
6.693
|
|
SUBTOTAL
|
8.406
|
2.275
|
79.752
|
14.546
|
43.928
|
148.907
|
|
Sumber
data : Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan Tahun Pelajaran 2003-2004
Catatan : Masih Terdapat 9.804 Guru PAI
yang belum diketahui klasifikasi berdasarkan jenjang pendidikan.
Sedangkan jumlah
siswa Muslim bedasarkan data yang diperoleh secara total berjumlah 33.741.236
orang dengan distribusi pada tiap jenjang, meliputi ; murid TK berjumlah
1.960.407 orang, murid SD berjumlah 22.426.696 orang, siswa SMP berjumlah
6.283.473 orang, siswa SMA/SMK 3.013.660 orang., dan siswa SLB 31.658 orang.
Pada sisi ini Ditpais, khususnya subdit Kesiswaan memiliki tugas besar dalam
melakukan pembinaan dalam rangka meningkatkan minat siswa untuk mendalami dan
mengamalkan ajaran agama Islam dan juga mencintai agamanya.
Tabel 2: Jumlah
Siswa Muslim berdasarkan jenjang pendidikan
NO
|
STATUS
|
TK
|
SD
|
SLTP
|
SLTA*
|
SLB**
|
TOTAL
|
1
|
Negeri
|
25.342
|
21.562.779
|
4.799.181
|
1.678.091
|
3.128
|
28.068.521
|
2
|
Swasta
|
1.960.407
|
863.917
|
1.484.292
|
1.335.569
|
5.6928.530
|
5.672.715
|
TOTAL
|
1.985.749
|
22.426.696
|
6.283.473
|
3.013.660
|
31.658
|
33.741.236
|
|
Sumber
: Statistik Depdiknas tahun 2003/ 2004
* SLTA diambil dari Statistik Pendidikan
Agama & Keagamaan Tahun Pelajaran 2003-2004.
**Prediksi total 89% dari total murid
SLB seluruh agama berjumlah 35.782 (negeri: 3.724, swasta:32.058)
Dari diagram di
atas, dapat diketahui bahwa besaran rasio antara guru pendidikan agama Islam
dengan murid di sekolah umum masih belum memadai. Untuk SD jumlah rasio antara
guru pendidikan agama Islam mencapai 1:191, untuk SMP jumlah rasio antara guru
pendidikan agama dengan murid mencapai 1:349, sementara untuk SMA/SMK jumlah
rasio antara guru pendidikan agama Islam dengan murid mencapai 1:251. Hal ini
pun belum mempertimbangkan pemerataan dan sebaran geogafisnya, seperti
pembagian wilayah desa-kota ataupun Wilayah terpencil.[9]
- KURIKULUM
Dalam
proses pengembangan kurikulum, maka ketika KBK diterapkan di beberapa sekolah
sejak tahun 2004 atau bahkan ada yang telah menetapkannya sejak tahun 2003,
maka kurikulum itu masih dalam taraf uji coba (eksperimen) dan belum ditetapkan
dalam bentuk peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai
terhadap mereka yang telah melakukan eksperimen KBK tersebut, sehingga di dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005
tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 pada pasal 8 dinyatakan bahwa
“Bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar
kompetensi lulusan “Kurikulum 2004”. Dengan kata lain satuan pendidikan dapat
memilih di antara kedua kurikulum tersebut. Bagi sekolah atau madrasah yang
menetapkan kurikulum 2004, bahan ujian disesuaikan dengan kurikulum 2004.
Uraian
di atas menggarisbawahi bahwa pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) antara lain menggunakan pendekatatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
yang memiliki ciri-ciri antara lain:
1.
Menitikberatkan pencapaian target
(attainment targets) kompetensi dari pada penguasaan materi. Lebih
mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
2.
Memberikan kebebasan yang luas
kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan
program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
Esensi pengembangan KTSP adalah “mengembangkan pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik”. Karena itulah kurikulum yang dikembangkan di pusat cukup sebagai rambu-rambu umum tentang standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai. Di pusat tidak perlu sampai mengatur urutan perbulan/minggu dan seterusnya, yang diberlakukan untuk sekolah/madrasah di daerah, apalagi sampai memaksakan suatu metode dan teori mengajar tertentu.[10]
Esensi pengembangan KTSP adalah “mengembangkan pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik”. Karena itulah kurikulum yang dikembangkan di pusat cukup sebagai rambu-rambu umum tentang standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai. Di pusat tidak perlu sampai mengatur urutan perbulan/minggu dan seterusnya, yang diberlakukan untuk sekolah/madrasah di daerah, apalagi sampai memaksakan suatu metode dan teori mengajar tertentu.[10]
Sejak tahun 2006 system pendidikan
nasional menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang disingkat dengan
KTSP. Secara umum KTSP memiliki beberapa kelebihan dari kurikulum sebelumnya
antara lain, bahwa KTSP mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak
manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan
program-program pendidikan. Dengan berpijak pada KTSP,sekolah diberi kebebasan
untuk merancang, mengembangkan dan mengimplementasikankurikulum sekolah sesuai
dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan local yangdimunculkan sekolah.
Kebebasan
tersebut tentu saja memberikan peluang bagi guru untuk menciptakan proses
pembelajaran yang lebih menarik dan bermakna. Meskipun demikian bukan berarti KTSP
tidak menyisakan permasalahan, justru
persoalannya sekarang adalah terletak pada kemampuan guru untuk melaksanakannya
di lapangan. Khususnya yang terkait dengan metode dan pendekatan pembelajaran.
Berkaitan
dengan metode, para guru dituntut untuk menguasai berbagai metode pembelajaran
selanjutnya terampil menggunakannya sesuai dengan topik pelajaran. Demikian
pula berkaitan dengan pendekatan dalam proses pembelajaran agama masih lebih
menekankan pada aspek kognitif. Aktifitas hafalan menjadi corak dalam pembelajaran
agama. Sementara aspek afektif dan psikomotorik sangat jarang tersentuh. Seperti
yang diungkapkan oleh Amin Abdullah, bahwa pembelajaran pendidikan agama yang
berjalan hingga sekarang lebih banyak terfokus pada persoalan-persoalan
teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata. Pendidikan Agama terasa
kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan
agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media dan
forum. Selanjutnya “makna” dan “nilai” yang telah terkunyah dan terhayati
tersebut dapat menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak-berbuat-berprilaku
secara konkrit agamis dalam wilayah kehidupan praksis sehari-hari
Pada
aspek materi, tampak lebih dominan aspek ritualnya dengan disiplin ilmu fiqh sebagai
pilihan. Hal ini mungkin juga disebkan oleh sedikitnya jam yang tersedia untuk pelajaran
agama ini sehingga aspek aqidah dan akhlak tidak terlalu mendalam. Selain itu,
bahwa sebagian besar guru agama kita masih terperangkap pada ketuntasan
kurikulum. Pembelajaran dianggap sukses jika target kurikulum tercapai. Oleh karena
itu tidak heran jika selama ini pembelajaran hanya sebatas pengajaran bukan pendidikan,
hanya sebatas transfer of knowledge tidak diiringi transfer of value.
Kondisi
di atas tentu saja menjadikan pendidikan agama tidak maksimal dan sangat wajar
jika belum bisa membentuk pribadi siswa yang berakhlak. Oleh karena itu, guru sebagai
pendidik, harus menyadari kondisi ini dan berusaha secara kontinyu meningkatkan
kualitas diri. Guru dituntut senantiasa mengembangkan diri dalam segi pengetahuan
dan wawasan tentang berbagai metode, konsep, dan pendekatan baru dalam dunia
pendidikan,karena keberhasilan pendidikan agama di sekolah banyak bergantung
pada guru.[11]
- PROSES PEMBELAJARAN
Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi
pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan
kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pmbelajaran pendidikan agama
Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan
kegiatan-kegiatan kerohanian Islam dan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih menunjukkan
keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu,
antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah
secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam pelajaran per
minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang
bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta didik adalah
hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas.
Kemudian supaya guru-guru memenuhi tuntutan itu, maka guru dapat
menggunakan ekstra kurikuler di dalam pembinaan agama Islam. Untuk ekstra
kurikuler banyak yang bisa dilakukan. Misalnya membina peserta didik belajar Al
Quran, praktek wudlu maupun praktek sholat dan sebagainya. Kalau tidak melalui
ekstrakurikuler dan dikontrol satu persatu maka tidak akan ketemu orang yang
memang memerlukan pembinaan itu. Jadi yang namanya mengajar itu jangan hanya
cukup di dalam kelas saja, apalagi kelas itu kurang dari tuntutan minimal wajib
mengajar. Jadi seharusnya dilakukan diskusi-diskusi dengan guru-guru agama
untuk memenuhi tuntutan kewajiban mengajar.[12]
- EVALUASI PEMBELAJARAN PAI
Evaluasi pengajaran
pendidikan agama Islam merupakan suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan
suatu pekerjaan di dalam pendidikan agama evaluasi adalah alat untuk mengukur
sampai di mana penguasan murid terhadap bahan pendidikan yang telah diberikan.
Adapun ruang lingkup kegiatan evaluasi pendidikan agama Islam mencakup
penilaian terhadap kemajuan belajar (hasil belajar) murid dalam aspek
pengetahuan keterampilan dan sikap sesudah mengikuti program pengajaran. Di
dalam pendidikan agama, sebagai suatu sistem evaluasi bukanlah sekedar
pekerjaan tambal sulam. Tetapi evaluasi merupakan salah satu komponen di
samping materi/bahan, kegiatan belajar mengajar alat pelajaran.Sumber dan
metode yang kesemuanya komponen saling interaksi satu sama lainnya untuk
mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan.[13]
Terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam
evaluasi. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah prinsip keterpaduan, prinsip koherensi,
prinsip paedagogis, serta prinsip akuntabilitas[14]
Fungsi evaluasi dalam pendidikan dan pengajaran Agama Islamdapat
dikelompokkan menjadi empat fungsi, yaitu:
1.
Untuk
mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami
atau melakukan kegiatan belajaar selama jangka waktu tertentu.
2.
Untuk
mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran. Untuk keperluan Bimbingan
dan Konseling (BK).
3.
Untuk
keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan.[15]
- PROBLEMA DAN SOLUSI YANG DIINGINKAN
Berbagai hasil penelitian tentang
problematika PAI di sekolah selama ini, ditemukan salah satu faktornya adalah
karena pelaksanaan pendidikan agama cenderung lebih banyak digarap dari
sisi-sisi pengajaran atau didaktik-metodiknya. Guru-guru PAI sering kali hanya
diajak membicarakan persoalan proses belajar mengajar, sehingga tenggelam dalam
persoalan teknis-mekanis semata. Sementara itu persoalan yang lebih mendasar
yaitu yang berhubungan dengan aspek pedagogisnya, kurang banyak disentuh.
Padahal, fungsi utama pendidikan agama di sekolah adalah memberikan landasan
yang mampu menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik melakukan perbuatan
yang mendukung pembentukan
pribadi beragama yang kuat.
Tiga hal menurut Hidayat yang bisa
dikemukakan untuk membuktikan kekurang-tepatan orientasi pendidikan dimaksud,
yaitu:
1.
Pendidikan
agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama.
2.
Tidak
tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama sehingga
sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal,
justru terlewatkan, misalnya pelajaran keimanan/tauhid.
3.
Kurangnya
penjelasan yang luas dan mendalam atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam
ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan
berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.
Dari
berbagai seminar dan simposium yang dilakukan, baik oleh Departemen Agama,
PTAI, maupun lembaga swadaya masyarakat lainnya, dapat dihimpun berbagai faktor
penyebab kurang efektifnya pendidikan agama di sekolah sebagai berikut:
1.
Faktor
internal, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri guru agama, yang meliputi:
kompetensi guru yang relatif masih lemah, penyalahgunaan manajemen penggunaan
guru agama, pendekatan metodologi guru yang tidak mampu menarik minat peserta
didik kepada pelajaran agama, solidaritas guru agama dengan guru non-agama
masih sangat rendah, kurangnya waktu persiapan guru agama untuk mengajar, dan
hubungan guru agama dengan peserta didik hanya bersifat formal saja
2.
Faktor
Eksternal, yang meliputi: sikap masyarakat/orangtua yang kurang concern
terhadap pendidikan agama yang berkelanjutan, situasi lingkungan sekitar
sekolah banyak memberikan pengaruh yang buruk, pengaruh negatif dari
perkembangan teknologi, seperti internet, play station dan lain-lain.
3.
Faktor
Institusional yang meliputi sedikitnya alokasi jam pelajaran pendidikan agama
Islam, kurikulum yang terlalu overloaded, kebijakan kurikulum yang terkesan
bongkar pasang, alokasi dana pendidikan yang sangat terbatas, alokasi dana
untuk kesejahteraan guru yang belum memadahi dan lain sebagainya.
Secara
lebih operasional, problem PAI dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Dari
proses belajar-mengajar, guru PAI lebih terkonsentrasi persoalan-persoalan
teoritis keilmuan yang bersifat kognitif semata dan lebih menekankan pada
pekerjaan mengajar/ transfer ilmu
2.
Metodologi
pengajaran PAI selama ini secara umum tidak kunjung berubah, ia bagaikan secara
konvensional-tradisional dan monoton sehingga membosankan peserta didik.
3.
Pelajaran
PAI seringkali dilaksanakan di sekolah bersifat menyendiri, kurang terintegrasi
dengan bidang studi yang lain, sehingga mata pelajaran yang diajarkan bersifat
marjinal dan periferal.
4.
Kegiatan
belajar mengajar PAI seringkali terkonsentrasi dalam kelas dan enggan untuk
dilakukan kegiatan praktek dan penelitian di luar kelas.
5.
Penggunaan
media pengajaran baik yang dilakukan guru maupun peserta didik kurang kreatif,
variatif dan menyenangkan.
6.
Kegiatan
belajar mengajar (KBM) PAI cenderung normatif, linier, tanpa ilustrasi konteks
sosial budaya di mana lingkungan peserta didik tersebut berada, atau dapat dihubungkan
dengan perkembangan zaman yang sangat cepat perubahannya.
7.
Kurang
adanya komunikasi dan kerjasama dengan orangtua dalam menangani permasalahan
yang dihadapi peserta didik.
Berbagai problem tersebut muncul
tentunya tidak terlepas dari kebijakan yang berkaitan pelaksanaan Pendidikan
Agama (baca : Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum), baik yang berupa
kebijakan ekternal yang berasal dari pemerintah maupun kebijakan internal
(institusional) sebagai bentuk operasionalisasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Umum.
Berbagai kebijakan yang ada tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak dikemas dalam sistem pembelajaran yang efektif dan efisien. Tugas ini harus diemban oleh seluruh lapisan masyarakat terutama para pelaksana pendidikan yang bersentuhan langsung dengan sistem pendidikan.
Berbagai kebijakan yang ada tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak dikemas dalam sistem pembelajaran yang efektif dan efisien. Tugas ini harus diemban oleh seluruh lapisan masyarakat terutama para pelaksana pendidikan yang bersentuhan langsung dengan sistem pendidikan.
Fenomena di atas nampaknya sudah
mulai disadari oleh para pelaksana pendidikan di Sekolah Umum. Keterbatasan
alokasi waktu untuk Mata Pelajaran PAI harus diperkaya dengan berbagai strategi
baik dalam kebijakan maupun dalam proses pembelajarannya. Keberadaan PAI tidak
hanya dipandang sebagai salah satu Mata Pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi
lebih dari itu keberadaanya terkait dengan mata kuliah lainnya. Dengan
demikian, porsi untuk Mata Pelajaran PAI bisa lebih memadahi dengan kebijakan
tersebut.
Sementara itu, menurut Malik Fajar,
untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan
sebagaimana digambarkan di atas, maka perlu digunakan dua konsep pendekatan,
yaitu: (1). Macrocosmis (tinjauan makro) yakni pendidikan dianalisis dalam
hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas. (2). Microcosmis (tinjauan
mikro), yakni pendidikan yang dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup
dimana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri.[16]
Dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sedang diberlakukan sekarang,
dijelaskan bahwa jam pelajaran untuk PAI ditingkatkan menjadi 3 jam pelajaran.
Hal ini tentu merupakan angin segar bagi guru PAI yang selalu mengeluh
“kekurangan jam.” Inipun sebetulnya masih kurang jika dilihat dari banyaknya
materi yang akan diajarkan kepada siswa. Mengajarkan membaca al - Quran, tata
cara berwudlu, shalat, dll kepada puluhan siswa tentu tidak cukup dengan hanya
beberapa kali pertemuan saja. Namun demikian, tambahan 1 jam pelajaran menjadi
3 jam pelajaran setidaknya memberi kesempatan kepada guru untuk berkreasi
meramu materi pelajaran sehingga target kurikulum yang selalu dijadikan alasan
tidak menjadi kendala lagi.
Untuk menutup kekurangan-kekurangan yang
tada, beberapa sekolah telah mencanagkan kegiatan ekstrakurikuler untuk
menunjamng kegiatan Pendidikan Islam di sekolah. Adapun jenis-jenis kegiatan
ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam di sekolah adalah sebagai berikut :
1.
Kegiatan ekstrakurikuler yang
memiliki kaitan dengan bidang studi Pendidikan Agama Islam. Dalam hal ini,
kegiatan ekstrakurikuler tersebut diarahkan kepada kegiatan pengayaan dan
penguatan terhadap materi-materi pembahasan dalam bidang studi Pendidikan Agama
Islam, seperti program kegiatan ekstrakurikuler membaca al-Qur’an (kursus
membaca al-Qur’an). Kegiatan ini sangat penting “mengingat kemampuan membaca
al-Qur’an merupakan langkah awal pendalaman dan pengakraban Islam lebih lanjut
2.
Kegiatan ekstrakurikuler yang
tidak memiliki kaitan dengan bidang studi Pendidikan Agama Islam.
Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler tersebut dapat berupa:
a.
Kesenian, Kesenian sebagai
kegiatan ekstrakurikuler Pendidiakn Agama Islam bisa berupa seni baca
al-Qur’an, qasidah, kaligrafi, dan sebagainya. Di samping memberikan keterampilan
kepada siswa, seni seperti dinyatakan oleh Wardi Bachtiar, bisa membangun
sesuatu perasaan keagamaan atau mengganti perasaan yang telah melekat dengan
perasaan yang baru.
b.
Pesantren Kilat, Pesantren kilat
adalah “kajian dasar Islam dalam jangka waktu tertentu antara 2-5 hari
tergatung situasi dankondisi. Kegiatan ini dapat diadakan di dalam atau di luar
kota asalkan situasinya tenang, cukup luas, dapat menginap dan fasilitas
memadai”.
c.
Tafakur Alam. Biasanya
berlangsung 1-3 hari dan diadakan di luar kota: pegunungan, perbukitan,
taman/kebun raya, pantai dan lain sebagainya.
d.
Shalat Jum’at berjamaah.Bagi
sekolah yang memiliki fasilitas untuk menyelenggarakan shalat Jum’at berjamaah,
bisa menjadikan aktivitas ibadah ini sebagai bagian dari program kegiatan
esktrakurikuler.
e.
Majalah dinding.Sebagai kegiatan
ekstrakurikuler, majalah dinding memiliki dua fungsi, yaitu sebagai wahana
informasi keislaman dan pusat informasi kegiatan Islam baik internal sekolah
maupun eksternal.
- SARANA DAN PRASARANA
Salah
satu yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar dari guru PAI adalah
pemanfaatan media pelajaran yang berbasis teknologi dalam pengajaran. Adanya
paradigma yang mengatakan bahwa guru agama cukuplah mengajar mengaji, berwudlu
serta shalat. PAI tidak ada sangkut pautnya dengan teknologi (komputer,
internet, dll) adalah paradigma yang harus diubah.
Penerapan
teknologi untuk membantu proses pendidikan bukanlah fenomena baru lagi.
teknologi telah membuktikan kegunaannya sebagai alat belajar yang sangat
berharga. Teknologi mampu mengubah wajah masyarakat suatu bangsa. Sebagai
ilustrasi di negara yang telah maju dan telah menguasai dan mengaplikasi
teknologi, dinamika masyarakatnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan dinamika
masyarakat dunia ke tiga atau negara-negara berkembang di dunia.
Dalam
PAI pun, pemanfataan teknologi akan sangat membantu para guru jika mampu
menguasai dan menggunakannya. Alangkah menariknya PAI jika siswa menyaksikan
praktek shalat lewat focus yang tersambung dengan laptop. Atau mencari buku -
buku refrensi di internet yang connect ke perpustakaan Perguruan Tinggi Islam
(misalnya UIN Makassar).
Sarana
pendidikan baik berupa fisik seperti tempat belajar, alat peraga maupun non
fisik seperti kurikulum, metode pendidikan, suasana pendidikan dan sebagainya
adalah suatu faktor yang sangat menunjang keberhasilan pendidikan. Tanpa sarana
yang cukup memadai, proses pendidikan tidak akan berlangsung dengan baik dan
lancar.
Pendidikan
agama sebagaimana pendidikan lainnya juga membutuhkan sarana dan fasilitas.
Bila di sekolah ada laboratorium IPA, Biologi, Bahasa, maka sebetulnya sekolah
juga membutuhkan laboratorium Agama. [17]
- TANTANGAN PAI KE DEPAN
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan,
karena secara formal penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam
pelajaran per minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang
hanya 2 jam pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama Islam
yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi
kalau memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga
sikap dan keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang
di kota-kota pada umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena
orang-orangnya sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka
belajar agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan
agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh
karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya mengajar di sekolah
saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler
yang memungkinkan mereka bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.
Dalam pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh
peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek
ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan
akhlak mulia.[18]
[1]
Ady
Altaparia, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Di Sekolah-Sekolah Umum
(Suatu pencerahan terhadap generasi bangsa yang krisis Iman dan Ilmu), http://adyaltaparia.blogspot.com/2012/01/internalisasi-nilai-nilai-pendidikan.html,
diakses 13 Maret 2012
[2]
Yusran, Jurnal Pendidikan:Strategi Pengembangan
pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum,
diakses 13 Maret 2012
[4] http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis,
diakses 24 Mei 2012
[5] Dedi Novianto, Program Pengembangan PAI Berbasis mulitkultural Pada Peserta Didik
--http://blog.uin-malang.ac.id/dedinoviyanto/2011/10/19/
Program -Pengembangan - PAI –Berbasis- mulitkultural -Pada -Peserta-Didik /html,
diposting 19 oktober 2010, diakses 13
Maret 2012
[6]
Asrori, Landasan PAI di Sekolah, http://www.asrori.com/2011/04/landasan-pai-di-sekolah.html,
diakses 13 April 2012
[7] Edi Purwanto, Pendidikan Agama Islam,
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2177642-pendidikan-agama-islam/html,
diakses 13 Maret 2012
[8] Drs.
H. Mudasir. MPd, Pengembangan
Sillabus Pendidikan Agama Islam (PAI)
Untuk Meningkatkan Pemahaman Guru Terhadap Kompetensi Siswa, http://blog.uin-suska.ac.id/Mudasir/note/2978/pengembangan-silabus-pai.html,
diakses tanggal 1 Mei 2012
[9] http://www.pendis.kemenag.go.id/pai/file/dokumen/RenstraDitpais.pdf,
diakses 23 mei 2012
[10]
Yusran,
Jurnal Pendidikan:Strategi Pengembangan pendidikan Agama Islam Pada Sekolah
Umum, diakses tanggal `13 Maret 2012
[11] Muhammad Abduh, jurnal
pendidikan: Kegagalan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah, dalam Widyaiswara
Balai Diklat Keagamaan Palembang, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
[12]Muhammad Ali. Pengembangan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, http://www.ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/html.
diposting 19 September 2010, diakses 13 Maret 2012
[13] http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2202971-evaluasi-pengajaran-pendidikan-agama-islam/html, diakses pada tgl. 06 Mei 2012,
[14]Nur
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung, Pustaka Setia, 1997), hal.
141
[15] Ngalim Purwanto,Prinsip- Prinsip dan
Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2010) Hal. 7
[16]
Asrori, Problematika PAI di Sekolah, http://www.asrori.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html,
di akses tanggal 1 Mei 2012
http://www.google.co.id
BERBASIS+PENDIDIKAN+AGAMA+ISLAM+DI+SEKOLAH+UMUM..html, diposting Rabu, 13 maret
2011, diakses Maret 2012
[18] Drs. H. Burdjani. AS, M.Ag, Tantangan
PAI ke depan,dalam Ittihad Jurnal
Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005