Archive for 2012

MAHMUD YUNUS DAN PEMIKIRANNYA DALAM BIDANG PENDIDIKAN



Oleh: YudhiAlhamdiAmras (109011000210)
A.    RIWAYAT HIDUP
Prof. Dr. H. Mahmud YunusDilahirkan di batusangkarpadatanggal 10 Februari 1899 danwafatpadatanggal 16 Januari 1982.Sejakkecil, Mahmud Yunussudahmemperlihatkanminatdankecenderungannnyayang kuatuntukmemperdalamilmu Agama Islam.Ketikaberumur 7 tahun, iabelajarmembaca al-Qur’an di bawahbimbingankakeknya MuhammadThahir yang dikenaldengannamaEngkuGadang. setelahmenamatkan al-Qur’an, iamenggantikankakeknyasebagai guru ngaji al-Qur’an. Duatahunkemudian, iamelanjutkanstudikesekolahdesadankemudianmelanjutkanstudike Madras School. Selanjutnyapadatahun 1917, iabersamateman-temannyamengajar di Madras School denganmemperbaruisistembelajarmengajardenganmenambahsistemhalaqah di sampingsistem madrasah denganmenggunakankitab-kitabmutakhir.[1]
Denganbekalkemampuanbahasa Arab yang sangatbaik, padatahun 1924 Mahmud YunusmelanjutkanstudinyakeUniversitas al-Azhar di Kairo, Mesir.Disanaiamemperdalamilmu-ilmu agama danbahasa Arab. Setelah lulus dariUniversitas al-Azhar, iamelanjutkanstudinyakeDarulUlumdanmendapatkangelar diploma denganspesialisasidalambidangpendidikan.[2]
Selainmenjadi guru, iajugaaktifdalamkegiatan-kegiatanlainnya. Mahmud YunussangataktifdanmenjadipenggerakutamadalamorganisasiPGAI (Persatuan Guru-Guru Agama Islam).Iajugamemprakarsaiberdirinyaperkumpulanparapelajar Islam Btusangkardengannama Sumatera Thawalibdanberhasilmenerbitkanmajalah Islam dengannamaal-Basyir .
Padatahun 1931, iamendirikanlembagapendidikan Islam modern dengannama Normal islam School. Mahmud Yunusjugamendirikan STI (SEkolahtinggi Islam) di bawahnaunganorganisasi PGAI.Padatanggal 1 Januari 1951, iadipercayamenjadikepalapenghubungpendidikan Islam padaDepartemen Agama. Mahmud Yunusturutmemprakasaiberdirinya ADIA (akademiDinasIlmu Agama-sekarang UIN Syarifhidayatullah) di Jakarta padatahun 1959 daniamenjadidekanpertamanya.
Selainitu, Mahmud Yunusjugaaktifdanproduktifdalammenulis.Tidakkurangdari 49 karyatulisdihasilkannyadalambahasa Indonesia dan 26 karyatulisdalambahasa Arab.
B.     USAHA-USAHA DAN PEMIKIRANNYA DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Mahmud Yunusialahtokoh yang memilikiperhatiandankomitmen yang besardalammengembangkandanmeningkatkanpendidikan Islam.Gagasandanpemikirannyadalampendidikanbersifatstrategisdanmerupakankaryaperintis, dalamartibelumpernahdipikirkandandilakukanolehtokoh-tokohsebelumnya.Pemikirannyadapatdilihatdalambeberapaaspek, diantaranyadaritujuanpendidikan, metodepengajaran, kurikulum, sertakelembagaan.
Pertama, dariaspektujuanpendidikanislam. Berkaitandengantujuanpokokpendidikan Islam, Mahmud Yunusmerumuskanduahal, yaituuntukkecerdasanperseorangandankecerdasanmengerjakanpekerjaan. Ada yang berpendapatbahwatujuanpendidikan Islam ialahmempelajarisertamengetahuiilmu-ilmu agama Islam danmengamalkannya, sepertiilmutafsir, hadis, fikih, dan lain sebagainya. Tujuaninilah yang dipakaioleh madrasah-madrasah di seluruhdunia.Bahkanadaulama yang mengharamkanmempelajariilmupengetahuanumumsepertiFisikadan Kimia.Tujuansepertiinilahmenurut Mahmud Yunusyang membuat Islam lemahdantidakbisamempertahanankemerdekaannya.
Tujuanpendidikanislammenurut Mahmud Yunusialahmenyiapkananak-anakdidik agar dewasakelakmerekasanggupdancakapmelakukanpekerjaandanamalanakhirat ,sehinggaterciptakebahagiaanduniadanakhirat. [3]
Kedua, dariaspekkurikulum. Mahmud Yunusmemilikigagasan yang tergolongbaru , yang padamasa yang akandatangcukuprelevanuntukdipelajaripadamasa yang akandatang. Berkaitandengankurikulumbahasa Arab, Mahmud Yunusmenawarkanpengajarankurikulumbahasa Arab yang terintegrasiantarasatucabangdengancabanglainnyadalamilmubahasaArab.seoranganakdidikdiberikancabang-cabangilmubahasa Arab  yang dipadukannyadenganmenerapkannyadalamkehidupansehari-hari.Metodeinikemudiandipakaidandilaksanakan di pesantren Darussalam Gontor.Tidakhanyaitu, Mahmud Yunusberusahamenggabungkanmatapelajaran Agama, umumdankebahasaanpadalembagapendidikanyang dipimpinnya.[4]
Ketiga, dalambidangkelembagaan, Mahmud YunusMengubahsistempendidikandari yang bercorak individual kepadasistemklasikal.Kebanyakanpesantren-pesantrenatausuraupadamasaitumemakaimetodesoroganatauhalaqahdalampendidikannya.
Ketika Mahmud YunusmemperkenalkanKulliyah al-Mu’allimin al-Islamiyahpadatahun 1931, dimanapelaksanaanpengajaran di kelas-kelasdenganjadwaldankurikulum yang sudahditetapkan.Jenjangkelaspundiaturdaridarikelas I sampaikelas IV setingkatAliyah.
Keempat, dalamaspekmetodepengajaran. Mahmud Yunusmempersiapkanbukupeganganbagi guru-guru  agamadenganjudul “MetodikKhususPendidikan Agama” yang berisibagaimanacaramengajar agama yang baikdaritingkat SD sampaiperguruantinggi. Di dalambukutersebut, Mahmud Yunusmemncobamerangkumbeberapakaidahmengajar, antara lain dengankeharusanseorang guru agar menghubungkanpelajaran yang barudenganpelajaran yang sebelumnya. Selainitu, dalambukutersebut, Mahmud Yunusjugamemberikancara-caramembangkitkanminatdanperhatianpesertadidikdengancaramengaktifkanpancainderamereka ,baiklisan, tulisan, perbuatan, maupunalatperaga.[5]
Pemikiran Mahmud YunusDalambidangpendidikantampakjelaskaitannyadenganupayamenciptakansumberdayamanusia yang terbinaseluruhpotensidirinya, sehinggaiadapatmelaksanakantugas-tugasnyasebagaikhalifah di mukabumidalamarti yang seluas-luasnya, yaitudapatmengambilperandalampembangunanummat. Dar sekianpemikirannya, tampakgagasandanpemikiran Mahmud Yunusmasihcukuprelevanuntukdiaplikasikan di masasekarang.


[1]Prof. Dr. H. AbbudinNata, Tokoh-TokohPembaharuanPendidikan Islam di Indonesia (Jakarta,(Rajawali Press, 2005) h.  57 cet. 1
[2]Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh diAbad 20 (Jakarta: GemaInsani Press, 2006) h. 86
[3]Mahmud Yunus, Pokok-PokokPendidikandanPengajaran(Jakarta:hidakarya,1990) h. 11-19 cet. III
[4]Mahmud Yunus, SejarahPendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: al-Hidayah,1971)
[5]Prof. Dr. H. ArmaiArief, MA, PembaharuanPendidikan Islam di Minangkabau (Jakarta: Suara ADI, 2009) h. 150 cet. I
Jumat, 08 Juni 2012
Posted by yudi

PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH UMUM

Oleh: Yudhi Alhamdi Amras


  1. PENDAHULUAN
Allah s.w.t berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya “Allah meninggikan berapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan).dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Ayat diatas merupakan landasan umat manusia untuk melakukan proses internalisasi dan transformasi dua modal hakiki dalam kehidupan iman dan ilmu. Kedua modal diatas merupakan dua hal yang harus disinergikan agar tidak terjadi fluktuasi dalam dampak sosialnya.
Salah satu ruang yang menjadi sarana untuk mencetak generasi bangsa yang beriman dan berilmu adalah lembaga pendidikan atau sekolah. Terkait dengan artikel yang penulis jadikan objek kajian ilmiah diatas, Madrasah sebagai suatu instansi yang diandalkan oleh Kemenag memang suatu langkah yang sangat solutif dalam mewujudan generasi yang beriman dan berilmu. Namun, madrasah adalah suatu sampel yang minoritos dari generasi muslim di indonesia ini. Secara kuantitas, jumlah siswa di sekolah-sekolah umum lebih mayoritas jika dibandingkan dengan madrasah saat ini. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang urgen untuk menemukan cara agar lembaga pendidikan umum juga mampu memproduksi generasi yang demikian. Sebab jika harapan pembinaan generasi islam hanya tertumpuk pada madrasah, maka akan terjadi proses pembiaran generasi islam yang menuntut ilmu di Sekolah umum untuk terlepas dari sentuhan nilai-nilai pendidikan islam.[1]
            Pendidikan Agama Islam di sekolah dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi mausia yang beriman dan bertakwa kwpada tuhannya serta berakhlak mulia serta pengembangan potensi spiritual pada diri peserta didik. Akhlak mulia meliputi etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Potensi spiritual mencakup pada pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaaanserta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.maka dari itu, maka Pendidikan Agama Islam sangat diperlukan dalam membentengi diri peserta didik dalam membentengi diri dalam tantangan aru budaya globalisasi .disini penulis akan memberikan gambaran dari sejarah, proses, dan problematika Pendidikan Agama Islam serta solusi dan tantangan PAI ke depan dalam pembinaan moral siswa baik di SD, SMP, maupun SMA/SMK.[2]  
  1. SEJARAH PERKEMBANGAN
Pada zaman penjajahan Belanda pendidikan agama
Islam telah diberikan secara resmi di sekolah-sekolah umum, namun sifatnya
masih terbatas pada fakultas-fakultas hukum dengan mata kuliah islamologi dan
buku literaturnya di karang oleh orientalis. Melihat kondisi tersebut para
mubaligh baik secara perorangan ataupun tergabung dalam organisasi-organisasi
Islam telah melakukan tabligh yang biasanya dilakukan pada hari Jum'at atau
Minggu di sekolah-sekolah umum seperti : MULO (Meer Uitgebret Laber
Onderwijs, yang sekarang sama dengan SLTP), AMS (Algemene Middelbare
School, yang sekarang sama dengan SMU), dan juga di Kweek School (sama
dengan sekolah guru). Pendidikan agama yang tidak resmi tersebut sering
mendapatkan reaksi dari guru-guru yang tidak senang dengan Islam, namun
meskipun demikian perhatian siswa kenyataannya sangatlah besar karena mereka
benar-benar membutuhkan siraman rohani.
            Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan agama Islam di sekolah telah
mengalami kemajuan. Hal tersebut terjadi karena Jepang mengetahui rakyat
Indonesia sebagian besar beragama Islam, sehingga untuk mendapatkan simpati
dikembangkanlah pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah. Mulai saat itu
pendidikan agama Islam secara resmi boleh diajarkan di sekolah pemerintah,
namun hanya berlaku di daerah sumatra saja, sedang daerah yang lain masih
sebatas pelajaran budi pekerti yang pada hakekatnya bersumber pada ajaran
agama juga.[3]
Pendidikan Agama sejak Indonesia merdeka tahun 1945 telah diajarkan di sekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama tahun 1945, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara telah mengirimkan surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang tetap diperkenankan dan diganti namanya menjadi pelajaran Agama. Pada saat tersebut, pendidikan agama belum wajib diberikan pada sekolah-sekolah umum, namun bersifat sukarela/fakultatif, dan tidak menjadi penentu kenaikan/kelulusan peserta didik.
Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta).[4]
Pendidikan Agama berstatus mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah umum mulai SD sampai dengan Perguruan Tinggi berdasarkan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab I Pasal I yang berbunyi:”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”. Peraturan ini keluar dengan tanpa protes, setelah penumpasan PKI.
Pelaksanaan Pendidikan Agama pada umumnya serta Pendidikan Agama Islam pada khususnya di sekolah-sekolah umum tersebut semakin kokoh oleh berbagai terbitnya perundang-undangan selanjutnya, hingga lahirnya UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih menjamin pemenuhan pendidikan agama kepada peserta didik. [3] Dan diikuti dengan lahirnya peraturan-peraturan selanjutnya sampai dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah.[5]
  1. LANDASAN PAI
            Landasan perundang-undangan sebagai landasan hukum positif keberadaan PAI pada kurikulum sekolah sangat kuat karena tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab V Pasal 12 ayat 1 point (a), bahwasannya setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
            Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 36 ayat 3 bahwasannya kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan taqwa. Dan pasal 37 ayat 1, bahwasannya kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama. Dengan merujuk beberapa pasal dalam UUSPN No. 20/2003, maka semakin jelaslah bahwa kedudukan PAI pada kurikulum sekolah dari semua jenjang dan jenis sekolah dalam perundang-undangan yang berlaku sangat kuat.
            Dalam PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
            Selanjutnya pada pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
            Dari beberapa landasan perundang-undangan di atas sangat jelas bahwa pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan jalur pendidikan. Dengan demikian, eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum.[6]
  1. VISI DAN MISI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
            Visi pendidikan agama islam di sekolah umum adalah terbentuknya
peserta didik yang memiliki kepribadian yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan
terhadap Allah SWT. Serta tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia serta budi
pekerti kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan prilaku sehari-hari,
untuk selanjutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa.
Berdasarkan visi tersebut, maka misi pendidikan agama islam di sekolah
meliputi usaha-usaha sebagai berikut:
1.      Melaksanakan pendidikan agama islam sebagai bagian integral dari keseluhan
proses pendidikan di sekolah.
2.      Menyelenggarakan pendidikan agama Islam di sekolah dengan mengintegrasikan aspek-aspek pengajaran, aspek pengamalan dan pengalaman
(yang berarti bahwa kegiatan belajar mengajar di kelas harus diikuti dengan
pembiasaan pengalaman ibadah bersama di sekolah), kunjungan dan memperhatikan lingkungan sekitar, serta penerapan nilai-nilai dan normanorma
akhlak dalam prilaku sehari-hari.
3.      Melakukan penguatan posisi dan peranguru agama islam di sekolah secara
terus menerus, baik sebagai pendidik maupun sebagai pembimbing dan
penasehat, dan sebagai komunikator dan penggerak bagi terciptanya suasana
keagamaan yang kondusif di sekolah.[7]
  1. DASAR DASAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Adapun yang menjadi dasar dari Pendidikan Agama Islam adalah al-Qur‘an yang merupakan kitab suci bagi kita umat Islam yang tentunya terpelihara keaslian nya dari tangan-tangan yang tak bertanggung jawab dan tidak ada keraguan di dalamnya, sebagaimana Firman Allah Swt dalam Al-Quran yaitu surat Al-Baqarah ayat 2 . Serta al-Hadits yang merupakan sabda Nabi Muhammad saw. Selain dari dua dasar yang paling utama tersebut, masih ada dasar yang lain dalam negara kita khususnya seperti yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2. Ayat 1 berbunyi, Negara berdasarkan azas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat 2 berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam pasal ini kebebasan memeluk agama dan kebebasan beribadah menurut agama yang dianutnya bagi warga Indonesia telah mendapat jaminan dari pemerintah dan hal ini sejalan dengan Pendidikan Agama Islam dan hal-hal yang terdapat di dalamnya. Pendidikan Agama Islam mempunyai fungsi sebagai media untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, serta sebagai wahana pengembangan sikap keagamaan dengan mengamalkan apa yang telah didapat dari proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
  1. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan ketiga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, serta hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam juga identik dengan aspek-aspek Pendidikan Agama Islam karena materi yang terkandung didalamnya merupakan perpaduan yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Apabila dilihat dari segi pembahasannya maka ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang umum dilaksanakan di sekolah adalah Ilmu Tauhid / Keimanan, Ilmu Fiqih,  Al-Qur’an, Al-Hadist, Akhlak dan Tarikh Islam.
  1. KARAKTERISTIK MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Setiap mata pelajaran memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang dapat membedakannya dengan mata pelajaran lainnya. Begitu juga halnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Adapun karakteristik mata pelajaran PAI adalah sebagai berikut:
1.      PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam, sehingga PAI merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam.
2.      Ditinjau dari segi muatan pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain yang bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Semua mata pelajaran yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran PAI.
3.      Diberikannya mata pelajaran PAI, bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
4.      PAI adalah mata pelajaran yang tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek afektif dan psikomotornya.
5.      Secara umum mata pelajaran PAI didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah/al-Hadits Nabi Muhammad Saw. (dalil naqli). Dengan melalui metode Ijtihad (dalil aqli) para ulama mengembangkan prinsip-prinsip PAI tersebut dengan lebih rinci dan mendetail dalam bentuk fiqih dan hasil-hasil ijtihad lainnya.
6.      Prinsip-prinsip dasar PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak.
7.      Tujuan akhir dari mata pelajaran PAI adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia (budi pekerti yang luhur).[8]
  1. KONDISI FISIK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM
1.      Jumlah siswa
Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, sekolah umum secara nasional berjumlah 224.170 sekolah dengan distribusi sebanyak 47.937 TK, 145.867 SD, 21.256 SMP, dan 8.249 SLTA. Besarnya angka tersebut mengindikasikan besarnya garapan strategis pendidikan agama Islam pada sekolah, sekali gus merupkan tanggung jawab yang harus diemban. Namun data tersebut belum termasuk sekolah-sekolah baru yang tidak terdata, karena berlokasi di daerah yang sulit terjangkau. Oleh karena itu, jumlah yang ada dalam data tersebut menjadi indikator utama perkembangan pendidikan agama pada sekolah.

Jumlah Sasaran Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
TK, SD, SMP, SMA/SMK, & SLB

NO
STATUS
TK
SD
SMP
SMA/SMK
SLB
TOTAL;
1
Negeri
305
135.644
11.234
3.392
44
150.619
2
Swasta
47.632
10.223
10.022
4.857
817
73.551
TOTAL
47.937
145.867
21.256
8.249
861
224.170
Sumber data: Statistik Diknas 2003/2004,
* Statistik EMIS Depag 2003/2004.

Jika jumlah tersebut dapat dioptimalkan, maka perkembangan pendidikan Islam pada sekolah dapat berjalan dengan baik. Mengingat jumlah yang tertinggi adalah SD, maka potensi pendidikan agama bisa mencapai dua tujuan sekaligus pada saat yang sama. Pertama, pendidikan agama yang dilakukan di SD dapat menambah kualitas masukan (quality of intakes) peserta didik. Hal ini diharapkan dapat berpengaruh kepada peningkatan jumlah angka partisipasi sekolah kepada penduduk usia 7-12 tahun yang hingga saat ini mencapai 96,8%. Kedua, pendidikan agama yang dilakukan di SD dapat menjadi pendidikan karakter yang baik bagi peserta didik pada usia awal perkembangan psikologisnya.
2.      Jumlah Guru Pendidikan Agama Islam dan Siswa Muslim
      Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional , jumlah total guru pendidikan agama Islam di sekolah sebanyak 148.907 orang. Dengan distribusi di tiap jenjang pendidikan, meliputi: guru agama yang berada di SD berjumlah 117.229 orang, di SLTP berjumlah 18.739 orang, serta di SLTA berjumlah 12.939 orang. Jumlah ini juga merupakan wilayah sasaran binaan Ditpais dalam bidang peningkatan kualitas ketenagaan. Angka tersebut juga mengindikasikan besarnya tuntutan dan harapan terhadap peran Ditpais dalam peningkatan kualitas guru PAI di semua jenis dan jenjang pendidikan.

Tabel 1: Jumlah Guru PAI Berdasarkan Kualifikasi Pendidikan Akhir

NO.
STATUS
KUALIFIKASI PENDIDIKAN AKHIR
TOTAL

SMA
D 1
D 2
D 3
S 1
  1. SD
Negeri
7.507
1.974
76.073
8.651
18.017
112.222
Swasta
369
140
.240
564
1.694
5.007
  1. SMP
Negeri
180
61
670
2.863
9.578
13.352
Swasta
224
71
433
950
3.709
5.387
  1. SMA
Negeri
29
9
155
783
5.270
6.246
Swasta
97
20
181
735
5.660
6.693
SUBTOTAL

8.406
2.275
79.752
14.546
43.928
148.907
Sumber data : Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan Tahun Pelajaran 2003-2004
Catatan : Masih Terdapat 9.804 Guru PAI yang belum diketahui klasifikasi berdasarkan jenjang pendidikan.

Sedangkan jumlah siswa Muslim bedasarkan data yang diperoleh secara total berjumlah 33.741.236 orang dengan distribusi pada tiap jenjang, meliputi ; murid TK berjumlah 1.960.407 orang, murid SD berjumlah 22.426.696 orang, siswa SMP berjumlah 6.283.473 orang, siswa SMA/SMK 3.013.660 orang., dan siswa SLB 31.658 orang. Pada sisi ini Ditpais, khususnya subdit Kesiswaan memiliki tugas besar dalam melakukan pembinaan dalam rangka meningkatkan minat siswa untuk mendalami dan mengamalkan ajaran agama Islam dan juga mencintai agamanya.

Tabel 2: Jumlah Siswa Muslim berdasarkan jenjang pendidikan

NO
STATUS
TK
SD
SLTP
SLTA*
SLB**
TOTAL
1
Negeri
25.342
21.562.779
4.799.181
1.678.091
3.128
28.068.521
2
Swasta
1.960.407
863.917

1.484.292
1.335.569
5.6928.530
5.672.715
TOTAL
1.985.749
22.426.696
6.283.473
3.013.660
31.658
33.741.236
Sumber : Statistik Depdiknas tahun 2003/ 2004
* SLTA diambil dari Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan Tahun Pelajaran 2003-2004.
**Prediksi total 89% dari total murid SLB seluruh agama berjumlah 35.782 (negeri: 3.724, swasta:32.058)
Dari diagram di atas, dapat diketahui bahwa besaran rasio antara guru pendidikan agama Islam dengan murid di sekolah umum masih belum memadai. Untuk SD jumlah rasio antara guru pendidikan agama Islam mencapai 1:191, untuk SMP jumlah rasio antara guru pendidikan agama dengan murid mencapai 1:349, sementara untuk SMA/SMK jumlah rasio antara guru pendidikan agama Islam dengan murid mencapai 1:251. Hal ini pun belum mempertimbangkan pemerataan dan sebaran geogafisnya, seperti pembagian wilayah desa-kota ataupun Wilayah terpencil.[9]
  1. KURIKULUM         
Dalam proses pengembangan kurikulum, maka ketika KBK diterapkan di beberapa sekolah sejak tahun 2004 atau bahkan ada yang telah menetapkannya sejak tahun 2003, maka kurikulum itu masih dalam taraf uji coba (eksperimen) dan belum ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap mereka yang telah melakukan eksperimen KBK tersebut, sehingga di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 pada pasal 8 dinyatakan bahwa “Bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan “Kurikulum 2004”. Dengan kata lain satuan pendidikan dapat memilih di antara kedua kurikulum tersebut. Bagi sekolah atau madrasah yang menetapkan kurikulum 2004, bahan ujian disesuaikan dengan kurikulum 2004.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) antara lain menggunakan pendekatatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang memiliki ciri-ciri antara lain:
1.      Menitikberatkan pencapaian target (attainment targets) kompetensi dari pada penguasaan materi. Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
2.      Memberikan kebebasan yang luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
Esensi pengembangan KTSP adalah “mengembangkan pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik”. Karena itulah kurikulum yang dikembangkan di pusat cukup sebagai rambu-rambu umum tentang standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai. Di pusat tidak perlu sampai mengatur urutan perbulan/minggu dan seterusnya, yang diberlakukan untuk sekolah/madrasah di daerah, apalagi sampai memaksakan suatu metode dan teori mengajar tertentu.[10]
            Sejak tahun 2006 system pendidikan nasional menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang disingkat dengan KTSP. Secara umum KTSP memiliki beberapa kelebihan dari kurikulum sebelumnya antara lain, bahwa KTSP mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan. Dengan berpijak pada KTSP,sekolah diberi kebebasan untuk merancang, mengembangkan dan mengimplementasikankurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan local yangdimunculkan sekolah.
Kebebasan tersebut tentu saja memberikan peluang bagi guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih menarik dan bermakna. Meskipun demikian bukan berarti KTSP  tidak menyisakan permasalahan, justru persoalannya sekarang adalah terletak pada kemampuan guru untuk melaksanakannya di lapangan. Khususnya yang terkait dengan metode dan pendekatan pembelajaran.
Berkaitan dengan metode, para guru dituntut untuk menguasai berbagai metode pembelajaran selanjutnya terampil menggunakannya sesuai dengan topik pelajaran. Demikian pula berkaitan dengan pendekatan dalam proses pembelajaran agama masih lebih menekankan pada aspek kognitif. Aktifitas hafalan menjadi corak dalam pembelajaran agama. Sementara aspek afektif dan psikomotorik sangat jarang tersentuh. Seperti yang diungkapkan oleh Amin Abdullah, bahwa pembelajaran pendidikan agama yang berjalan hingga sekarang lebih banyak terfokus pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata. Pendidikan Agama terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media dan forum. Selanjutnya “makna” dan “nilai” yang telah terkunyah dan terhayati tersebut dapat menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak-berbuat-berprilaku secara konkrit agamis dalam wilayah kehidupan praksis sehari-hari
Pada aspek materi, tampak lebih dominan aspek ritualnya dengan disiplin ilmu fiqh sebagai pilihan. Hal ini mungkin juga disebkan oleh sedikitnya jam yang tersedia untuk pelajaran agama ini sehingga aspek aqidah dan akhlak tidak terlalu mendalam. Selain itu, bahwa sebagian besar guru agama kita masih terperangkap pada ketuntasan kurikulum. Pembelajaran dianggap sukses jika target kurikulum tercapai. Oleh karena itu tidak heran jika selama ini pembelajaran hanya sebatas pengajaran bukan pendidikan, hanya sebatas transfer of knowledge tidak diiringi transfer of value.
Kondisi di atas tentu saja menjadikan pendidikan agama tidak maksimal dan sangat wajar jika belum bisa membentuk pribadi siswa yang berakhlak. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik, harus menyadari kondisi ini dan berusaha secara kontinyu meningkatkan kualitas diri. Guru dituntut senantiasa mengembangkan diri dalam segi pengetahuan dan wawasan tentang berbagai metode, konsep, dan pendekatan baru dalam dunia pendidikan,karena keberhasilan pendidikan agama di sekolah banyak bergantung pada guru.[11]
  1. PROSES PEMBELAJARAN
Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pmbelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerohanian Islam dan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas.
Kemudian supaya guru-guru memenuhi tuntutan itu, maka guru dapat menggunakan ekstra kurikuler di dalam pembinaan agama Islam. Untuk ekstra kurikuler banyak yang bisa dilakukan. Misalnya membina peserta didik belajar Al Quran, praktek wudlu maupun praktek sholat dan sebagainya. Kalau tidak melalui ekstrakurikuler dan dikontrol satu persatu maka tidak akan ketemu orang yang memang memerlukan pembinaan itu. Jadi yang namanya mengajar itu jangan hanya cukup di dalam kelas saja, apalagi kelas itu kurang dari tuntutan minimal wajib mengajar. Jadi seharusnya dilakukan diskusi-diskusi dengan guru-guru agama untuk memenuhi tuntutan kewajiban mengajar.[12]
  1. EVALUASI PEMBELAJARAN PAI
Evaluasi pengajaran pendidikan agama Islam merupakan suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan agama evaluasi adalah alat untuk mengukur sampai di mana penguasan murid terhadap bahan pendidikan yang telah diberikan. Adapun ruang lingkup kegiatan evaluasi pendidikan agama Islam mencakup penilaian terhadap kemajuan belajar (hasil belajar) murid dalam aspek pengetahuan keterampilan dan sikap sesudah mengikuti program pengajaran. Di dalam pendidikan agama, sebagai suatu sistem evaluasi bukanlah sekedar pekerjaan tambal sulam. Tetapi evaluasi merupakan salah satu komponen di samping materi/bahan, kegiatan belajar mengajar alat pelajaran.Sumber dan metode yang kesemuanya komponen saling interaksi satu sama lainnya untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan.[13]
Terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam evaluasi. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah prinsip keterpaduan, prinsip koherensi, prinsip paedagogis, serta prinsip akuntabilitas[14]
Fungsi evaluasi dalam pendidikan dan pengajaran Agama Islamdapat dikelompokkan menjadi empat fungsi, yaitu:
1.      Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajaar selama jangka waktu tertentu.
2.      Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran. Untuk keperluan Bimbingan dan Konseling (BK).
3.      Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan.[15]     
  1. PROBLEMA DAN SOLUSI YANG DIINGINKAN
Berbagai hasil penelitian tentang problematika PAI di sekolah selama ini, ditemukan salah satu faktornya adalah karena pelaksanaan pendidikan agama cenderung lebih banyak digarap dari sisi-sisi pengajaran atau didaktik-metodiknya. Guru-guru PAI sering kali hanya diajak membicarakan persoalan proses belajar mengajar, sehingga tenggelam dalam persoalan teknis-mekanis semata. Sementara itu persoalan yang lebih mendasar yaitu yang berhubungan dengan aspek pedagogisnya, kurang banyak disentuh. Padahal, fungsi utama pendidikan agama di sekolah adalah memberikan landasan yang mampu menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik melakukan perbuatan yang mendukung pembentukan pribadi beragama yang kuat.
Tiga hal menurut Hidayat yang bisa dikemukakan untuk membuktikan kekurang-tepatan orientasi pendidikan dimaksud, yaitu:
1.      Pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama.
2.      Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, justru terlewatkan, misalnya pelajaran keimanan/tauhid.
3.      Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.
          Dari berbagai seminar dan simposium yang dilakukan, baik oleh Departemen Agama, PTAI, maupun lembaga swadaya masyarakat lainnya, dapat dihimpun berbagai faktor penyebab kurang efektifnya pendidikan agama di sekolah sebagai berikut:
1.      Faktor internal, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri guru agama, yang meliputi: kompetensi guru yang relatif masih lemah, penyalahgunaan manajemen penggunaan guru agama, pendekatan metodologi guru yang tidak mampu menarik minat peserta didik kepada pelajaran agama, solidaritas guru agama dengan guru non-agama masih sangat rendah, kurangnya waktu persiapan guru agama untuk mengajar, dan hubungan guru agama dengan peserta didik hanya bersifat formal saja
2.      Faktor Eksternal, yang meliputi: sikap masyarakat/orangtua yang kurang concern terhadap pendidikan agama yang berkelanjutan, situasi lingkungan sekitar sekolah banyak memberikan pengaruh yang buruk, pengaruh negatif dari perkembangan teknologi, seperti internet, play station dan lain-lain.
3.      Faktor Institusional yang meliputi sedikitnya alokasi jam pelajaran pendidikan agama Islam, kurikulum yang terlalu overloaded, kebijakan kurikulum yang terkesan bongkar pasang, alokasi dana pendidikan yang sangat terbatas, alokasi dana untuk kesejahteraan guru yang belum memadahi dan lain sebagainya.
          Secara lebih operasional, problem PAI dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Dari proses belajar-mengajar, guru PAI lebih terkonsentrasi persoalan-persoalan teoritis keilmuan yang bersifat kognitif semata dan lebih menekankan pada pekerjaan mengajar/ transfer ilmu
2.      Metodologi pengajaran PAI selama ini secara umum tidak kunjung berubah, ia bagaikan secara konvensional-tradisional dan monoton sehingga membosankan peserta didik.
3.      Pelajaran PAI seringkali dilaksanakan di sekolah bersifat menyendiri, kurang terintegrasi dengan bidang studi yang lain, sehingga mata pelajaran yang diajarkan bersifat marjinal dan periferal.
4.      Kegiatan belajar mengajar PAI seringkali terkonsentrasi dalam kelas dan enggan untuk dilakukan kegiatan praktek dan penelitian di luar kelas.
5.      Penggunaan media pengajaran baik yang dilakukan guru maupun peserta didik kurang kreatif, variatif dan menyenangkan.
6.      Kegiatan belajar mengajar (KBM) PAI cenderung normatif, linier, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya di mana lingkungan peserta didik tersebut berada, atau dapat dihubungkan dengan perkembangan zaman yang sangat cepat perubahannya.
7.      Kurang adanya komunikasi dan kerjasama dengan orangtua dalam menangani permasalahan yang dihadapi peserta didik.
Berbagai problem tersebut muncul tentunya tidak terlepas dari kebijakan yang berkaitan pelaksanaan Pendidikan Agama (baca : Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum), baik yang berupa kebijakan ekternal yang berasal dari pemerintah maupun kebijakan internal (institusional) sebagai bentuk operasionalisasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum.
        Berbagai kebijakan yang ada tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak dikemas dalam sistem pembelajaran yang efektif dan efisien. Tugas ini harus diemban oleh seluruh lapisan masyarakat terutama para pelaksana pendidikan yang bersentuhan langsung dengan sistem pendidikan.
Fenomena di atas nampaknya sudah mulai disadari oleh para pelaksana pendidikan di Sekolah Umum. Keterbatasan alokasi waktu untuk Mata Pelajaran PAI harus diperkaya dengan berbagai strategi baik dalam kebijakan maupun dalam proses pembelajarannya. Keberadaan PAI tidak hanya dipandang sebagai salah satu Mata Pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi lebih dari itu keberadaanya terkait dengan mata kuliah lainnya. Dengan demikian, porsi untuk Mata Pelajaran PAI bisa lebih memadahi dengan kebijakan tersebut.
Sementara itu, menurut Malik Fajar, untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka perlu digunakan dua konsep pendekatan, yaitu: (1). Macrocosmis (tinjauan makro) yakni pendidikan dianalisis dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas. (2). Microcosmis (tinjauan mikro), yakni pendidikan yang dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup dimana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri.[16]
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sedang diberlakukan sekarang, dijelaskan bahwa jam pelajaran untuk PAI ditingkatkan menjadi 3 jam pelajaran. Hal ini tentu merupakan angin segar bagi guru PAI yang selalu mengeluh “kekurangan jam.” Inipun sebetulnya masih kurang jika dilihat dari banyaknya materi yang akan diajarkan kepada siswa. Mengajarkan membaca al - Quran, tata cara berwudlu, shalat, dll kepada puluhan siswa tentu tidak cukup dengan hanya beberapa kali pertemuan saja. Namun demikian, tambahan 1 jam pelajaran menjadi 3 jam pelajaran setidaknya memberi kesempatan kepada guru untuk berkreasi meramu materi pelajaran sehingga target kurikulum yang selalu dijadikan alasan tidak menjadi kendala lagi.
        Untuk menutup kekurangan-kekurangan yang tada, beberapa sekolah telah mencanagkan kegiatan ekstrakurikuler untuk menunjamng kegiatan Pendidikan Islam di sekolah. Adapun jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam di sekolah adalah sebagai berikut :
1.      Kegiatan ekstrakurikuler yang memiliki kaitan dengan bidang studi Pendidikan Agama Islam. Dalam hal ini, kegiatan ekstrakurikuler tersebut diarahkan kepada kegiatan pengayaan dan penguatan terhadap materi-materi pembahasan dalam bidang studi Pendidikan Agama Islam, seperti program kegiatan ekstrakurikuler membaca al-Qur’an (kursus membaca al-Qur’an). Kegiatan ini sangat penting “mengingat kemampuan membaca al-Qur’an merupakan langkah awal pendalaman dan pengakraban Islam lebih lanjut
2.      Kegiatan ekstrakurikuler yang tidak memiliki kaitan dengan bidang studi Pendidikan Agama Islam. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler tersebut dapat berupa:
a.       Kesenian, Kesenian sebagai kegiatan ekstrakurikuler Pendidiakn Agama Islam bisa berupa seni baca al-Qur’an, qasidah, kaligrafi, dan sebagainya. Di samping memberikan keterampilan kepada siswa, seni seperti dinyatakan oleh Wardi Bachtiar, bisa membangun sesuatu perasaan keagamaan atau mengganti perasaan yang telah melekat dengan perasaan yang baru.
b.      Pesantren Kilat, Pesantren kilat adalah “kajian dasar Islam dalam jangka waktu tertentu antara 2-5 hari tergatung situasi dankondisi. Kegiatan ini dapat diadakan di dalam atau di luar kota asalkan situasinya tenang, cukup luas, dapat menginap dan fasilitas memadai”.
c.       Tafakur Alam. Biasanya berlangsung 1-3 hari dan diadakan di luar kota: pegunungan, perbukitan, taman/kebun raya, pantai dan lain sebagainya.
d.      Shalat Jum’at berjamaah.Bagi sekolah yang memiliki fasilitas untuk menyelenggarakan shalat Jum’at berjamaah, bisa menjadikan aktivitas ibadah ini sebagai bagian dari program kegiatan esktrakurikuler.
e.       Majalah dinding.Sebagai kegiatan ekstrakurikuler, majalah dinding memiliki dua fungsi, yaitu sebagai wahana informasi keislaman dan pusat informasi kegiatan Islam baik internal sekolah maupun eksternal.
  1. SARANA DAN PRASARANA
Salah satu yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar dari guru PAI adalah pemanfaatan media pelajaran yang berbasis teknologi dalam pengajaran. Adanya paradigma yang mengatakan bahwa guru agama cukuplah mengajar mengaji, berwudlu serta shalat. PAI tidak ada sangkut pautnya dengan teknologi (komputer, internet, dll) adalah paradigma yang harus diubah.
Penerapan teknologi untuk membantu proses pendidikan bukanlah fenomena baru lagi. teknologi telah membuktikan kegunaannya sebagai alat belajar yang sangat berharga. Teknologi mampu mengubah wajah masyarakat suatu bangsa. Sebagai ilustrasi di negara yang telah maju dan telah menguasai dan mengaplikasi teknologi, dinamika masyarakatnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan dinamika masyarakat dunia ke tiga atau negara-negara berkembang di dunia.
Dalam PAI pun, pemanfataan teknologi akan sangat membantu para guru jika mampu menguasai dan menggunakannya. Alangkah menariknya PAI jika siswa menyaksikan praktek shalat lewat focus yang tersambung dengan laptop. Atau mencari buku - buku refrensi di internet yang connect ke perpustakaan Perguruan Tinggi Islam (misalnya UIN Makassar).
Sarana pendidikan baik berupa fisik seperti tempat belajar, alat peraga maupun non fisik seperti kurikulum, metode pendidikan, suasana pendidikan dan sebagainya adalah suatu faktor yang sangat menunjang keberhasilan pendidikan. Tanpa sarana yang cukup memadai, proses pendidikan tidak akan berlangsung dengan baik dan lancar.
Pendidikan agama sebagaimana pendidikan lainnya juga membutuhkan sarana dan fasilitas. Bila di sekolah ada laboratorium IPA, Biologi, Bahasa, maka sebetulnya sekolah juga membutuhkan laboratorium Agama. [17]
  1. TANTANGAN PAI KE DEPAN
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan, karena secara formal penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam pelajaran per minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya 2 jam pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama Islam yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di kota-kota pada umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena orang-orangnya sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya mengajar di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang memungkinkan mereka bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.
Dalam pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan akhlak mulia.[18]



[1] Ady Altaparia, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Di Sekolah-Sekolah Umum (Suatu pencerahan terhadap generasi bangsa yang krisis Iman dan Ilmu), http://adyaltaparia.blogspot.com/2012/01/internalisasi-nilai-nilai-pendidikan.html, diakses 13 Maret 2012
[2] Yusran, Jurnal Pendidikan:Strategi Pengembangan pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, diakses 13 Maret 2012
[5] Dedi Novianto, Program Pengembangan  PAI Berbasis mulitkultural Pada Peserta Didik --http://blog.uin-malang.ac.id/dedinoviyanto/2011/10/19/ Program -Pengembangan - PAI –Berbasis- mulitkultural -Pada -Peserta-Didik /html, diposting 19 oktober 2010, diakses 13 Maret 2012
[6] Asrori, Landasan PAI di Sekolah, http://www.asrori.com/2011/04/landasan-pai-di-sekolah.html, diakses 13 April 2012
[7] Edi Purwanto, Pendidikan Agama Islam, http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2177642-pendidikan-agama-islam/html, diakses 13 Maret 2012

[8] Drs. H. Mudasir. MPd,  Pengembangan Sillabus Pendidikan  Agama Islam (PAI) Untuk Meningkatkan Pemahaman Guru Terhadap Kompetensi Siswa, http://blog.uin-suska.ac.id/Mudasir/note/2978/pengembangan-silabus-pai.html, diakses tanggal 1 Mei 2012
[10] Yusran, Jurnal Pendidikan:Strategi Pengembangan pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, diakses tanggal  `13 Maret 2012
[11] Muhammad Abduh, jurnal pendidikan: Kegagalan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah, dalam Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Palembang, diakses pada tanggal 1 Mei 2012
[12]Muhammad Ali.  Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, http://www.ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/html. diposting 19 September 2010, diakses 13 Maret 2012
[13] http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2202971-evaluasi-pengajaran-pendidikan-agama-islam/html, diakses  pada  tgl. 06 Mei 2012,
[14]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung, Pustaka Setia, 1997), hal. 141
[15]        Ngalim Purwanto,Prinsip- Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2010) Hal. 7
[16] Asrori, Problematika PAI di Sekolah, http://www.asrori.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html, di akses tanggal 1 Mei 2012
[17]Mukhlis Sabir, MULOK BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM
http://www.google.co.id BERBASIS+PENDIDIKAN+AGAMA+ISLAM+DI+SEKOLAH+UMUM..html, diposting Rabu, 13 maret 2011,  diakses Maret 2012
[18] Drs. H. Burdjani. AS, M.Ag, Tantangan PAI ke depan,dalam Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005 
Posted by yudi

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © JhodyMrazBraine -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -