Archive for Mei 2015
MENGENAL KAIDAH AL-'AM DAN KAIDAH AL-KHAS
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konteks Syar’iyyah
di dalam Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum yang redaksinya
menetapkan hukum syar’i konteks al-qur’an dan al-hadis tersebut bisa berupa
lafaz umum dan khusus. Lafaz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus
diartikan pada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan
hukumnya apakah pasti (qath’i) atau dugaan (dhzony), terdapat pebedaan pendapat
ulama, yaitu antara golongan ulama jumhur (syafi’iyah, malikiyah, hambaliyah)
dan hanafiyah. Pembahasan tentang dalil takhsis (yang mengkhususkan) lafadz ‘am
insya Allah akan di uraikan dalam bab takhsis.
Nash Al-Qur’an dan Al- Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus
(khosh), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang
mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz
mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada
dalil yang mengikatnya. Dan adapula yang muqoyyad yakni lafadz yang dilakukan
harus sesuai batasan (kaitnya).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-‘Am
1.
Pengertian
al-‘am
Dalam upaya untuk memahami al-‘am ini para ulama ushul telah
memberikan sejumlah definisi atau pengertian yang pada dasrnya mengandung
maksud yang sama, meskipun redaksinya berbeda satu sama lainnya. Syaikh
Al-khudari Beik, menyebutkan sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَ الَّلفْظُ الدَّالُ عَلَى إِسْتِغْرَاقِأَفْرَادِ
مَفْهُوْمٍ
“al-‘am
adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup
sejumlah objek atau satuan yang banya”..
Sementara itu, Zaki al-Din Sya’ban mendefinisikan al-‘Am sebagai
berikut;
العَامُ
هُوَ الَّلفُظْ الْمَوْضُوْعُ وَضْعًا وَاحِدًا وَالَّذِى يَشْمَلُ جَمِيْع الْاَفْرَادِ
الَّتِى يَصْدُقُ عَلَيُهَا مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ حَصْرٍ فِى كَمِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ
“al-‘Am
ialah suatu lafaz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat meliputi berbagai
objek di dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hakekat keumuman
lafal itu adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan
nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu
saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada yang umum jika
kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup
didalamnya.
Makna
al-‘Amm termasuk lafal yang digunakan untuk
makna tertentu dan karenanya ia qath’iy hingga muncul dalil yang metakhsis. Hal
demikian seperti halnya al-khas, yang kandungannya bersifat qath’iy hingga
muncul dalil al-majaz; sedangkan kemungkinan adanya takhsis atas al-‘amm
merupakan kemungkinan (ihtimal) yang tidak muncul dari dalil yang bersangkutan
sehingga tidak menafikan sifat ke-qath’iy-an, sebagaimana halnya kemungkinan
(ihtimal) adanya al-majaz atas al-khas tidak menafikan sifat ke-qath’iy-annya.[1]
Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai
bentuk-bentuk obyek tertentu walaupun tanpa qarinah. Sedangkan menurut Muhammad
Ibnu Muntab dari golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan
Hanafiyah menyatakan bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu
kecuali menggunakan penyertaan.
Semua ulama sepakat bahwa adanya pentakhsish-an lafaz yang ‘amm,
karena pada dasarnya semua ayat-ayat al-Qur’an mengandung kebolehan
mentakhsiskan, baik takhsis muttashil maupun munfashil. [2]
2.
Karaktristik
lafal al-‘Am
Berdasarkan penelitian para ulama ushul, bahwa banyak lafal nash
yang mengandung makna umum dengan karaktristiknya sendiri. Dan atas dasar ini,
maka para ulama ushul telah menyimpulkan ciri khas dan karaktristik lafal yang
dikatagorikan kepada umum tersebut. sebagaiman yang telah dikemukakan oleh
Mustafa Said al-Khin, bahwa suatu lafal dipandang umum bila didalam nash
terdapat lafal-lafal seperti berikut:
·
Lafal
( كل ) yang artinya setiap
·
Lafal
( جميع ) yang artinya semua atau seluruhnya
·
Jama’
atau mufrad dima’rifatkan kepada alif lam al-jinsiyah dan lafal jama’ yang
diidofatkan
·
Isim
maushul
·
Isim
syarat
·
Isim
nakirah yang dinafikan
Disamping itu
Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al Fuhul, menyebutkan,
lafal-lafal , seperti (سا ئر) semua, (كافة) seluruh, (عامة) semua, dan ( معشر) jamanya ( معا شر) sekalian adalah golongan kepada al-‘am.
Dalam hubungan ini, bila ditemukan susunan kalimat dengan menggunakan
lafal-lafal yang disebutkan diatas, maka ia akan di golongkan kepada al-‘am
(umum).Contonya: QS. Al-Baqarah: 275
3¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#4
“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Lafal “yìøt7ø9ا” (jual beli) dan “#4qt/Ìh9ا ” (riba) dalam ayat diatas keduanya adalah
isim mufrod (tunggal) yang dima’rifatkan
kepada alif lam al-jinsiyah (jenis). Oleh karena itu, kedua lafal adalah
di golongkan kepada al-‘am.
Dari contoh
diata sudah jelas bahwa keumuman lafal nash, ditandai dengan penggunaan
lafal-lafal tertentu seperti telah disebutkan diatas sebagai ciri atau
karaktristik lafal al-‘am.
3.
Dalalah
al-‘am dan implikasi pemahamannya
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama
ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya
jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi,
kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus
diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu
sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i
atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat.
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i
bukan zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi
maknanya. Kalangan ulama hanafi
seperti dijelaskan oleh Zaky al-Din
Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna
yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan
ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
“
apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan
yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan
membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i
menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i.
oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum
diamalkan.
Kalangan
Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ
عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan
sebagian dari satuan-satuannya”.
Dari pandangan
syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin
harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
4.
Al-Khas
1.
Pengertian
al-Khas
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am
mengandung arti umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek
yang banyak, maka al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna
tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan
ulama ushul tentang pengertian al-kahs. Beberapa pengertian berikut ini dapat
dipahami bahwa lafal al-kahs merupakan arti tertentu dan tidak terdapat
perbedaan dikalangan ulama ushul, kecuali dari segi redaksi saja.[3]
Abdul Wahab Khallaf misalnya menyebutkan:
الخَاصُّ
هُوَ لَفْظٌ وُضِعَ لِلدِّلَاَ لَةِ عَلَى فَرْدٍوَاحِدٍ
“al-khas
ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan pengertian pada suatu satuan
objek tertentu saja”.
Kemudian Mustafa Said al-Khin memberikan definisi al-Khas sebagai
berikut:
الخَاصُ
فَكُلُّ لَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الْأَفْرَاد وَهُوَإِمَّا
أَنْ يَكُوْنَ خُصُوْصَ الْجِنْسِأَوْخُصُوْصَ النَّوْعٍأَوْ خُصُوْصَ الْعَيْنِ
“al-khas
ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu pengertian tertentu atau
khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi jenis dan macamnya maupun
segi subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-laki”.
Sementara imam al-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Futuh,
menjelaskan bahwa yang disebut dengan al-khas adalah suatu lafal yang
menunjukan kepada satu sebutan saja.
Dari pengertian yang digunakan untuk menunjukan pengertian yang
tertentu saja. pengertian tertentu ini berkaitan sifat satuan yang disebutkan,
yaitu segi jenisnya, macam-macamnya, maupun segi zat dan subtansinya. Dengan
kata lain al-khas itu pengertiannya sudah terbatas pada aspek tertentu yang
secara khusus memang disebutkan.
2.
Karaktristik
lafal al-khas
Suatu lafal nash dikatagorikan kepada al-khas, bila lafal tersebut
diungkapkan dalam bentuk atau karaktristik berikut ini:
·
Diungkapkan
dengan menyebut jumlah atau bilangan dalam satu kalimat
·
Menyebutkan
jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang
·
Suatu
lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofat
Dari ketiga
ciri atau karaktristik diatas dapat dipahami bahwa lafal al-khas menunjukan
makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu
satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam
nash ditemukan lafal-lafal seperti karaktristik diatas, maka digolongkan pada
al-khas.
3.
Dalalah
al-Khas dan pandangan ulama
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk
qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain.
Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas
adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din
Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.
Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa
meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan
mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang
qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat
bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat
dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din
Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
4.
Mutlaq dan Muqayad
1.
Pengertian
Mutlaq dan Muqayad
a.
Mutlaq
Dari beberapa literatur ushul fiqh terdapat sejumlah definisi yang
diberikan oleh ulama ushul tentang mutlaq ini. Muhammad Jawad Mughniyah,
dalam kitab ‘Ilmu Ushul Fi Sanbih al-Jadid, menyebutkan sebagai berikut:
إِنَّ الْمُطْلَقَ هُوَ الًّلفْظُ
الدَّالُ عَلَى الْمَاهِيَّةِ بِلَا قَيْدٍ
“bahwa mutlaq itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu
pengertian tanpa diikat oleh batasan tertentu”.
Secara tegas Muhammad Jawad mengatakan bahwa yang dimaksud Mutlaq
adalah suatu lafal yang menunjukan satu bagian atau jenis , tanpa ada
pengecualiannya. Seperti nama orang, hamba sahaya atau orang persi. Dalam
hubungan ini Mustafa Said al-Khin menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan
mutlaq ialah:
بِأَنَّ يَدُلُّ عَلَى
فَرْدٍمُنْتَشِرٍ فِى جِنْسِهِ غَيْرِمُقَيَّدٍ لَفْظًا بِأَيِّ قياءٍ يَحُدُّ مِنْ
اْنتِشَارِهِ
“yaitu satu lafal yang menunjukan atas suatu objek yang tercakup
dalam jenisnya, tanpa dibatasi oleh suatu batasan dari cakupannya itu”.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya apa
yang di sebut dengan mutlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak
atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya. Misalnya dalam
nash al-Qur’an yang sering dirujuk oleh ulama ushul disebutkan sebagai berikut:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَسَمَّا
“maka (wajib) atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri itu
bercampur”
Dalam ayat diatas terdapat lafal (رَقَبَةٍ) “budak” yang tidak ada batasannya berupa
sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya.
b.
Muqayad
Adapun pengertian muqayad mengandung arti sebaliknya dari
mutlaq. Tentang muqayad ini para ulama ushul juga memberikan sejumlah
pengertian. Diantaranya, seperti dikemukakan oleh Syaik al-Khudari Beik,
sebagai berikut:
المُقَيِّدُ مَادَلَ
عَلَى فَرْادٍ شَا ئِعَةٍ بِقَيْدٍ مُسْتَقْبَلٍ للفظا
“muqayad ialah lafal yang menunjukan kepada suatu objek (afrad)
atau beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”.
Sementara Zaky al-Din Sya’ban mendefinisikan muqayad sebagai
berikut:
المُقَيَّدُ هُوَ اللَّفْظُ الَّذِي يَدُلُّ
عَلَى فَرْدٍأَوْأَفْرَادٍعَلَى سَبِيْلِ الشُّيُوْعِ وَاقْتَرَنَ بِهِ مَايَدُلُّ
عَلَى تَقْيِيْدِهِ بِصِفَةٍ مِنَ الصِّفَاتِ
“muqayad ialah suatu lafal yang menunjukan
atas satu objek atau beberapa objek dan ia telah dibatasi oleh suatu sifat”.
Kemudian, Mustafa Said al-Khin menyebutkan sebagai berikut:
دِلَالَةُ الَّلفْظِ
عَلَى الْمَاهِيَةِ مُقَيَّدَةٌبِقَيْدٍ مَا يُقَلِّلُ مِنْ شُيُوْعِهَا أَوْ عَلَى
مَدْلُوْلٍ مُعَيَّنٍ
“yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi
dengan suatu batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut
telah tertentu maknanya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena
dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan
pasti. Contohnya:
ãÌóstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB×ptÏurîpyJ¯=|¡B#n<Î)اهله
“maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya”.
Lafal
(7pt7s%u7poYÏB÷sB)
merupakan ةuqayad, karena telah dibatasi oleh
suatu sifatyang cakupan maknanya menjadi lebih spesifik dan terbatas.
2.
Pandangan
Ulama Tentang Dalalahnya Mutlaq dan Muqayad
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam hal ketentuan hukum antara
mutlaq dan muqayad adalah sama, sementara sebabnya berbeda.
أَنْ يَتَحِدَا فِى الْحُكْمِ وَيَخْتَلِفَا
فِى السَّبَتِ
Kalangan mazhab Hanafi, yang mutlaq diamalkan sesuai dengan
kemutlaqannya dan demikian pula yang muqayad. Akan tetapi, kalangan jumhur
fuqaha seperti mazhab syafi’i, maliki, dan hanbali berpendapat bahwa jika
ketentuan hukum antara mutlaq dan muqayad adalah sama dan sebab yang melatar
belakangi berbeda, maka mutlaq dibawa ke muqayad.
Contonya seperti kafarat zihar adalah memerdekakan seorang
budak (7pt7s%u7poYÏB÷sB)
diungkapkan dengan lafal mutlaq (pt7s%u) adapun kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah) memerdekakan
seorang budak mukmin (ãÌóstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB) diungkapkan
dengan muqayad. Pada dasarnya ketentuan kafarat zihar dan pembunuhan tak
sengaja ketentuannya dalah sama, tetapi yang disebut tyerakhir yang
diungkapkan dengan muqayad. Menurut Hanafi Mutlaq tetap pada
kemutlaqannya dan muqayad juga tetap pada tempatnya. Sebaliknya kalangan jumhur
berpendapat Mutlaq dibawa keMuqayad. Persoalan sekarang adalah
apa yang melatarbelakangi perbedaan kedua kelompok yang disebutkan ini?
Ternyatamasing-masing kelompok mempunyai alasan tersendiri.
a.
Mazhab
Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana dijelskan oleh Mustafa Said
al-Khin, bahwa pada dasarnya setiap dalalah lafal nash yang bersumber dari
sayri’ mengandung ketentuan hukum tersendiri. Oleh karena itu subtansial setiap
nas mempunyai hujjah tersendiri. Dengan demikian lafal mutlaq tidak boleh
disatukan oleh lafal muqayad.
b.
Kalangan
jumhur
Adapun alasan jumhur tentang mutlaq yang harus dibawa kepada
muqayad adalah karena al-Qur’an itu merupakan atau ibarat satu perkataan yang
wajib membina antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Jika terdapat satu
perkataan dalam al-Qur’anyang tertentu hukumnya sudah pasti, maka ketentuan
hukum tersebut berlaku sama disemua tempat. Menurut Muhammad Abu Zahra, apabila
terdapat pada satu tempat suatu ketenyuan secara Muqayad dan di tempat lain
Mutlaq, maka mutlaq dibawa kepada muqayad karena hakekatnyakedudukannya adalah
satu ketentuan.[4]
KESIMPULAN
hakekat
keumuman lafal itu adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi
karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk
kepada objek tertentu saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada
yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang
tercakup didalamnya.
Al-kahas
mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am mengandung arti umum
yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek yang banyak, maka
al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna tertentu dan khusus.
Tidak ada perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan ulama ushul tentang
pengertian al-kahs.
mutlaq
itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan
yang mempersempit cakupan artinya.
muqayad
itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan
suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.
[1] Asnawi, Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011), cet. I, h. 197
[2] Muchlis Usman,
Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002)cet. IV, h. 35
[3] Romli, Muqaranah
Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 195
[4] Romli, Muqaranah
Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 215