Archive for Januari 2015

PENDIDIKAN AKIDAH AKHLAK: ANTARA PRESTASI BELAJAR DAN KECERDASAN INTRAPERSONAL SISWA

Oleh: Yudhi Alhamdi Amras, S.Pd.I
                                      
A.      Latar Belakang Masalah
       Secara umum, tujuan pendidikan ialah membawa anak pada kedewasaan-nya, yang berarti bahwa ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertang-gung jawab kepada dirinya sendiri. Anak harus dididik menjadi seorang yang mampu mengenal dan berbuat menurut kesusilaan.[1] Karena itu, pendidikan bertujuan untuk membawa peserta didik kepada kedewasaannya sehingga ia mampu bertanggung jawab kepada dirinya dengan dilandasi pada aturan norma dan moral.
       Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) sebagaimana yang dikutip dalam buku Filsafat Pendidikan Islam karya Abbudin Nata mengatakan bahwa tujuan dari suatu pendidikan ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kekayaan dan jabatan.[2] Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 sebagai berikut:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ                    
Artinya: “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadaku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)[3]
       Ath-Thabathaba’i  sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Quraish Shihab di dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan jin dan manusia suatu kebebasan memilih akal dan kemampuannya demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjalankan aktifitas kesehariannya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.[4]
       Berdasarkan penjelasan tafsir di atas dapat dipahami bahwa pendidikan bertujuan untuk membawa peserta didik melalui potensi akal dan kemampu-annya dalam membentuk intelektual, kepribadian dan keterampilan yang ber-manfaat untuk dirinya dan masyarakat yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
       Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani sebagaimana yang dikutip oleh M. Arifin berpendapat, bahwa:
“Tujuan dari pendidikan ialah perubahan yang diingini yang diusahakan dalam proses pendidikan atas usaha pendidikan untuk mencapainya, baik dari tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.”[5]

       Undang-undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (bab II pasal 3, dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan) juga menjelaskan:
“Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang berdemokrasi dan bertanggung jawab.”[6]

       Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan adalah membentuk pribadi yang cakap, cerdas, mandiri, dan berkepribadian. Tujuan akhir dari suatu pendidikan ialah adanya suatu peru-bahan yang telah melalui proses secara berkala dalam rangka mengembang-kan intelektual, emosional, dan spiritual sehingga mampu menghadapi segala perubahan dan permasalahan yang ada di dalam dirinya dan masyarakat di sekelilingnya. Pendidikan tidak hanya berfungsi menciptakan pribadi yang cakap dalam intelektualnya. Akan tetapi diharapkan adanya kecakapan yang seimbang antara intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik.
       Bila dikaitkan dengan perkembangan moral, pendidikan moral sangat dibutuhkan dalam perkembangan kepribadian seseorang, terutama remaja. pengenalan nilai-nilai moral ini harus diajarkan sejak dini yang dimulai dari lingkungan keluarga, lingkunan sekolah, maupun di lingkungan masyarakat.
       Menurut Muhammad Alim, Moral adalah keterikatan pada norma-norma spiritual yang telah ditetapkan, baik yang bersumber pada ajaran agama, budaya masyarakat, atau berasal dari tradisi berpikir secara ilmiah. Keterikatan spiritual akan mempengaruhi keterikatan sikapnya terhadap nilai-nilai kehidupan yang akan menjadi pijakan utama dalam menetapkan suatu pengembangan perasaan dan dalam menetapkan suatu tindakan.
       Keterikatan pada norma-norma religius akan membentuk sikap tertentu dalam menyikapi segala persoalan. Moral yang dikembangkan atas pijjakan Agama, maka pertimbangan-pertimbangan moralnya akan le-bih berorientasi pada kewajiban Agama.[7] Cara agar norma-norma religius dapat tertanam dalam diri individu ialah dengan adanya pembinaan akhlak sejak usia dini.

       Dalam dunia pendidikan, akhlak sangat berpengaruh dengan dunia pen-didikan yakni membentuk insan kamil (manusia paripurna). Muhammad Athiyyah al-Abrasyi yang dikutip dari Muhammad al-Toumi al-Syaibani  telah menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yang salah satu tujuannya ialah untuk membentuk akhlak yang mulia. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
       Dalam mengenal dunia pendidikan, maka akhlak juga sangat berpenga-ruh dalam metode pendidikan, sehingga menjadikannya salah satu ciri metode mengajar dalam pendidikan Islam. Di antara ciri-ciri umum yang paling menonjol adalah berpadunya metode dan cara-cara, dari segi tujuan dan alat, dengan jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia.[8]
       Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah membentuk akhlakul karimah. Dengan adanya akhlakul karimah, dapat menjadikan peserta didik memiliki moralitas yang baik, sehingga ia dapat mengkonsep dirinya sehingga terbentuklah kepribadian yang kokoh.
       Mata pelajaran akidah akhlak merupakan satu dari empat mata pelajaran agama Islam yang dipelajari di madrasah atau di sekolah. Pelajaran ini penting dalam menjadikan siswa yang berakhlak mulia dan peduli terhadap sesama manusia. Selain itu juga membantu dalam memberikan bekal dan menyiapkan siswa dalam hidup bermasyarakat di tempat tinggalnya. Jadi, tidak hanya mata pelajaran umum saja yang dikedepankan, melainkan juga pelajaran agama seperti mata pelajaran akidah akhlak dan mata pelajaran agama yang lain. dengan adanya keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum, tidak hanya  menjadikan para siswa cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual.
       Tampaknya masih banyak dari kita yang mengidentikkan kecerdasan dengan IQ (Intelligence Quotient) atau menghubung-hubungkan kecerdasan seseorang dengan siswa yang hanya tinggi dalam hal intelektualnya. Pelaksanaan pendidikan yakni lebih mengutamakan kecerdasan intelektual tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional dan spiritual pada akhirnya akan menimbulkan perilaku buruk dari orang-orang terdidik.[9] Misalnya dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Kurikulum yang begitu padat, pemenuhan standar KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang tidak diimbangi dengan kemampuan belajar siswa danterlalu banyaknya pelaksanaan ujian seperti ulangan harian, ujian semester, UTS (ujian tengah semester), bahkan ditambah lagi pelaksanaak UN (ujian nasional) dengan standar yang begitu berat mennimbulkan rasa tertekan pada diri siswa. Dari sisi positifnya, siswa yang memiliki karakter yang baik akan semaksimal mungkin dalam belajar dan menganggap hal ini adalah sebuah tantangan bagi dirinya. Bila ia menga-lami kegagalan, ia akan berusaha mengintrospeksi dirinya agar senantiasa memperbaiki dan meningkatkan prestasi akademiknya. Akan tetapi, siswa yang berkarakter yang lemah bahkan cenderung pemalas  terlebih lagi yang memiliki kapasitas intelegensi yang terbatas akan merasa tertekan dengan banyaknya pelaksanaan ujian yang dihadapinya. Bila ia mengalami kegagalan ia akan merasa rendah diri dan selalu pesimis akan keberhasilan dirinya. Dalam kasus lain, karena kurangnya bimbingan dari orang-orang di sekelilingnya atau pelajaran yang ia pelajaran tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, siswa  akan merasa frustasi bahkan melakukan tindak kecurangan seperti menyontek dan lain sebagainya. Hal ini membuat jalannya proses pembelajaran menjadi kurang menyenangkan bagi siswa.
       Dampak yang paling terlihat adalah kurangnya atensi belajar yang dirasa-kan oleh sebagian besar siswa dan bertindak di luar hal yang tidak semestinya mereka kerjakan. Bentuk-bentuk kenakalan remaja terutama remaja yang ada di kota-kota besar seperti semakin meningkatnya tawuran antar pelajar, ada-nya pemerasan/kekerasan (bullying) di kalangan pelajar, kecenderungan do-minasi senior terhadap yunior, penyalahgunaan narkoba dan lain sebagai-nya. Bahkan yang paling memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui kantin kejujuran di sejumlah sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha Kantin Kejujuran yang bangkrut karena belum bang-kitnya sifat jujur pada anak-anak. Sementara itu berdasarkan informasi dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan terdapat 3,6 juta pecandu nar-koba di Indonesia.”[10]
       Fenomena di atas dapat memperkuat suatu bukti bahwa kecerdasan inte-lektual saja tidaklah cukup. Maka sangat dibutuhkan suatu konsep diri yang matang agar mereka mampu menyelesaikan segala masalahnya dengan tenang dan bijak. Konsep diri merupakan salah satu aspek perkembangan psikososial peserta didik yang harus dipahami oleh seorang guru. Seifert dan Hoffnung dalam buku yang berjudul “Psikologi Perkembangan Peserta Didik” karangan Desmita mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemaha-man mengenai diri  atau ide tentang diri sendiri.[11] Hal ini karena konsep diri merupakan salah satu bagian yang sangat menentukan dalam proses pen-didikan. Banyak bukti penyimpangan-penyimpangan siswa di kelas banyak disebabkan oleh persepsi dari sikap negatif siswa terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdaan spiritual (SQ) agar siswa bisa memahami dirinya dengan baik. Dengan konsep diri yang baik, akan membantu siswa dalam perkembangan emosinya sekaligus membantu perkembangan mentalnya dalam mencapai identitas diri.
       Sebuah contoh, misalnya ada seorang siswa yang gagal setelah menempuh ujian, dengan konsep diri yang baik ia akan mampu mengintro-speksi penyebab kegagalan yang dialaminya, sehingga ia akan mampu bangkit dari keterpurukannya dan berusaha memperbaiki kekurangan yang ada di dalam dirinya. Contoh lain, misalnya ketika siswa SMA yang akan lulus dari sekolahnya dan akan dihadapkan pada sejumlah pilihan penjurusan dalam perkuliahan. Ia akan merasa bingung dengan pilihan yang akan dia ambil. Di sinilah peran konsep diri seorang siswa dibutuhkan, karena dengan memiliki konsep diri yang baik, seseorang akan mudah memenuhi tujuan hidupnya, mampu mengatasi segala konflik yang ada di dalam dirinya dan menginstrospeksikannya.
       Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa konsep diri mem-punyai pengaruh yang besar terhadap kesuksesan seseorang yang menurut Howard Gardner yang merupakan bagian dari kecerdasan intrapersonal. Howard Gardner (1982) mengemukakan penemuannya mengenai beberapa tipe kecerdasan yang dimiliki manusia yang dinamakan dengan multiple intelligences.[12]
       Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan mengenai diri sendiri. Kecerdasan ini adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri dan ber-tanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Orang-orang yang berkecerdasan intrapersonal tinggi cenderung menjadi pemikir yang tercermin pada apa yang mereka lakukan dan terus-menerus membuat penilaian diri.[13]
       May Lwin dalam bukunya Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan berpendapat:
“Kecerdasan intrapersonal sangat penting bagi setiap orang yang ingin menguasai kendali atas kehidupannya. Dengan kecerdasan intrapersonal yang baik, ia akan mampu mengembangkan pemahaman yang kuat mengenai diri yang dibimbingnya kepada kestabilan emosional, mampu mengendalkan dan mengarahkan emosi, mampu mengatur dan memotivasi dirinya, mampu bertanggung jawab atas kehidupan sendiri,  serta mampu mengembangkan harga diri yang tinggi yang merupakan dasar bagi keberhasilan.”[14]

       Mata pelajaran Akidah Akhlak merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang dimungkinkan mampu mengembangkan kecerdasan intrapersonal siswa. Prestasi belajar yang diraih para siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak ini dapat dikatakan berhasil apabila memenuhi tiga raha tiga ranah, yakni pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, sedangkan prestasi belajar dianggap kurang memuaskan apabila tidak memenuhi tiga ranah tersebut. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah melakukan evaluasi. Hasil dari evaluasi tersebut dapat memperlihatkan tinggi rendahnya prestasi belajar siswa.
       Prestasi belajar Akidah Akhlak merupakan hasil yang dicapai seseorang di dalam melakukan kegiatan belajar, melalui penguasaan dan  keterampilan dalam mata pelajaran Akidah Akhlak, di mana hasil yang dicapai ditunjuk dengan nilai ulangan ataupun  raport. Adapun tindakan tingkah laku (akhlak) peserta didik (remaja) tersebut juga di pengaruhi oleh berbagai faktor, pendidikan, lingkungan, maupun keluarga. Dalam masa remaja ini merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa.
       Dengan prestasi belajar Akidah Akhlak yang telah dicapai oleh peserta didik sangat dimungkinkan dapat meningkatkan  kecerdasan intrapersonal peserta didik sehingga dapat menjadi bekal bagi mereka dalam mengen-dalikan emosi dirinya, mampu memotivasi dirinya, serta dapat mengkonsep dirinya dengan baik dan terarah. Akan tetapi, hal demikian belum cukup untuk menjamin seorang siswa mampu melaksanakan apa yang ia lakukan di sekolah.




[1] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda, 2009) cet. 9, h. 19.
[2] Abbudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) cet. 1, h. 212.
[3] Tim Penyusun Penerjemahan al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Pentafsiran al-Qur’an, 1971) , h. 862.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007) cet. 7, h. 358.
[5] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) cet. 4, h. 29.
[6] Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, (Bandung: Fokusmedia, 2009), h. 5-6.
[7] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Kepribadian dan Pemikiran Muslim. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006) h. 9.
[8] Umar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Tripoli: al-Syarikah al-Ammah li an-Nasyr at-Tauzi wa al-Ilkan, 1975), h. 583.
                [9] Akhmad Muhaimin Azzei, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, (Sleman: Ar-Ruzz Media, 2011), cet. 1, h. 27.
[10] Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Renaja Rosdakarya, 2011), cet. 1, h. 2-6.
[11] Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta didik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, cet. 1, h. 163.
[12] Thomas Amstrong, Sekolahnya Para Juara, diterjemahkan oleh Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2003), cet. 2, h. 1
[13] May Lwin. dkk, Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan diterjemahkan oleh Christine Sujana, (Yogyakarta: Indeks, 2008), cet. 2, h. 233.
[14] Ibid, h. 234.
Kamis, 22 Januari 2015
Posted by yudi

TRADISI KEAGAMAAN DAN SIKAP KEAGAMAAN

OLEH: Yudhi Alhamdi Amras, S.Pd.I
     Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata keagamaan yang sudah dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian tradisi keagamaan sudah merupakan kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk berubah, karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan, harga diri dan jati diri masyarakat pendukungnya.
     Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu (Koentjaraningrat, 1986:80-90)
1.      Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem kebudayaan berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan-pandangan yang benruknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2.      Sistem sosial (social system)
Sistem sosial beruwud aktivitas, tingkah laku bepola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkret. Sistem sosial adalah bentuk kebudayaan dalam wujud yang lebih konkret dan dapat diamati.
3.      Benda-benda budaya (material culture)
Benda-benda budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan material. Benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
Selanjutnya isi kebudayaan, menurut koenjaraningrat terdiri atas tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Dengan demikian dilihat dari bentuk dan isi, kebudayaan pada dasarnya merupakan suatu tatanan yang mengatur kehidupan suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai serta norma-norma yang menjadi pedoman hidup itu kemudian berkembang dalam berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk dalam satu sistem sosial. Dari sistem ini selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.
Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara konkret, pernyataan Koentjaraningrat tersebut dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu komunitas keagamaan. Sebagai contoh, masuknya agama kenusantara sejak abad keempat (Hindu Budha), ketujuh (Islam) dank e 16 (Kristen). Meskipun keempat agama tersebut disiarkan ke Nusantara dalam kurun waktu yang berbeda, namun pengaruhnya terhadap prilaku masyarakat pendukungnya di Indonesia masuh terlihat nyata.
Menurut Robert C, Monk, memang pengalaman agama umumnya bersifat individual. Tetapi karena pengalaman agama yang dimiliki umumnya selalu menekankan pada pendekatan keagamaan bersifat pribadi, hal ini senantiasa mendorong seseorang untuk mengembangkan dan menegaskan keyakinannya itu dalam sikap,tingka laku, dan praktek-praktek keagamaan yang dianutnya. Inilah sisi-sisi sosial (kemasyarakatan) yang meliputi unsur pemelihara dan pelestarian sikap para individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut.
Bagaiman pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini dapat dilihat dari contoh yang paling sederhana. Seorang muslim yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat akan menunjukan sikap yang menolak ketika diajak masuk ke kelenteng, Pure dan Gereja. Sebalinya hatinya akan tenteram saat menjejakan kakinya ke Masjid. Demikian pula seorang penganut agama katolik dan agama yang lainnya akan mengalami hal yang serupa.

Dalam konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang bakal diwariskan generasi tua kepada generasi muda. Sebab pendidikan menurut Hasan Langgulung, dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu dan masyarakat. Dari sudut pandang individu, maka pendidikan diartikan sebagai upaya untuk mengembangakan potensi individu. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat, pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi berikutnya.
Posted by yudi
Tag :

SADD ADZ-DZARI'AH: SUMBER HUKUM ISLAM PENDAMPING AL-QUR'AN DAN hADITS

Oleh Yudhi Alhamdi Amras

A.    PENDAHULUAN
     Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali kita menghadapi permasalahan yang pelik.  Terlebih lagi ketika masalah tersebut dihubungkan dengan masalah agama. Masalah halal-haram contohnya. Apabila masala tersebut dapat kita cari solusinya secara langsung di dalam al-Qur’an dan Hadits, tentu kita akan tenang menghadapinya. Itupun tidak sembarang orang bisa melakukannya. Namun, apabila permasalahan tersebut tidak kita temukan di dalam al-Qur’an dan hadits secara langsung, sudah pasti kita akan kesulitan bahkan kebingungan dalam menyelesaikan solusi yang kita hadapi. Lantas bagaimana pengambilan keputusan yang mesti kita ambil dalam menyelesaikan suatu kasus/masalah yang sedang kita alami?
     Para ulama terdahulu telah berupaya dalam mencari solusi dari masalah yang ada dalam kehidupan, baik yang berhubungan dengan maalah pribadi maupun dalam masalah-masalah yang timbul di masyarakat, trlebih lagi dalam masalah hukum. Dalam Islam, ijma’ dan qiyas merupakan lanjutan dari sumber hukum setelah al-Qur’an dan hadits yang merupakan upaya para ulama dalam menetapkan hukum dari suatu perkara-perkara yang timbul di masyarakat, dengan tidak meninggalkan al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama dalam penetapan hukum. Tidak hanya itu, Imam Malik bin Anas jauh lebih rinci dalam melakukan qiyas/menalar perihal masalah yang ada. Di mana sumber hukum yang dipakai, yang merupakan bagian dari qiyas tersebut adalah sadd adz-dzari’ah, di mana penggunaan sumber hukum ini merupakan perihal yang masih diperdebatkan oleh para ulama’.
B.     PENGERTIAN SADD AL-ZARI’AH
     Secara etimologi, sadd al-zari’ah berasal dari dua kata. Sadd artinya menutup dan zari’ah yang artinya jalan. Jadi menurut bahasa sadd al-zari’ah  artinya adalah menutup jalan. Akal akan berkata kalau jalan itu ditutup maka semua arah yang akan datang ke pintu itu tidak boleh dilalui.
Sedangkan secara terminologi, para ulama mendefinisikan sebagai berikut:
-          Menurut Imam al-Syaukani, sadd al-zari’at adalah sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan membawa kepada hal yang dilarang.(syaifuddin shiddiq, ushul fiqh, hal 76-77)
-          Menurut al-Syathibi, mendefinisikan sadd al-zari’ah dengan melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandumg kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan. Maksudnya adalah seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang telah dicapai mengandung suatu kemafsadatan.(Prof.Dr. Nasrun Harun, ushul fiqh, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2001) cet. III hal. 161)
Dari definisi di atas dapat diperoleh gambaran secara jelas bahwa sadd al-zari’ah adalah merupakan usaha mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah. Dengan demikian, metode ini bersifat preventif yaitu usaha pencegahan. Artinya, segala sesuatu yang mubah tetapi akan membawa kepada perbuatan yang haram sehingga hukumnya menjadi haram.diantara kasus hukum yang yang ditetapkan berdasarkan metode ini adalah kasus pemberian hadiah kepada hakim. Seorang hakim haram menerima pihak yang berperkarasebelum perkara itu diputuskan, karena hal itu akan membawa ketidak adilan dalam memutuskan perkara yang sedang ditanganinya. Sedangkan pada dasarnya menerima pemberian dari orang lain hukumnya diperbolehkan. Namun pada kasus diatas haram hukumnya. (syaifuddin shiddiq, ushul fiqh, hal 76-77)
Contoh yang lainnya adalah dalam masalah zakat. Sebelum memasuki masa haul, seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian harta kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena perbuatan itu merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajiban (membayar zakat), maka perbuatan seperti ini dilarang. Pelarangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.
Imam al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi, sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
1.      Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kemafsadatan
2.      Kemafsadatan kebih kuat daripada pemaslahatan pekerjaannya
3.      Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan, unsur kemafsadatannya lebih banyak.
Dalam pembahasan hukum taklifi tentang “wajib” telah diuraikan tentang hukum melakukan segala sesuatu yang membawa kepada dan mendahului suatu perbuatan wajib, yang disebut “muqaddimah wajib”. Dari segi bahwa ia adalah washilah (perantara) kepada suatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari’ah. Oleh karena itu para penulis dan para ulama memasukkan pembahasan tentang muqaddimah wajib” ke dalam pembahasan tentang dzari’ah, karena sama-sama sebagai perantara kepada sesuatu.
Badran dan Zuhailai membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzari’ah. Perbedaannya terlertak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju kepada perantara atau washilah. Pada dzari’ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Kalau zina adalah perbuatan pokok dan khalwat adalah perantara, maka tidak terjadinya zina itu tidak tergantung pada terjadinya khalwat, artinya tanpa khalwat pun zina dapat juga terjadi. Karena itu, perantara di sini disebut dzari’ah.
Pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara. Kalau shalat sebagai perbuatan pokok dan wudhu sebagai perantara, maka keberadaan dan kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu. Karenanya wudhu di sini disebut muqaddimah.
Meskipun Badran dan Zuhaili mengemukakan adanya perbedaan antara muqaddimah dengan dzari’ah, namun keduannya berpendapat bahwa antara dzari’ah dan muqaddimah itu mempunyai kesamaan, yaitu sama sebagai “perantara” untuk sesuatu.
Sebenarnya kalau ingin membedakan di antara keduanya akan lebih tepat kalau dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang berada di balik perantara itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang disuruh, maka washilahnya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang dilarang, maka washilahnya disebut dzari’ah. Karena kita harus menjauhi perbuatan yang dilarang, termasuk washilahnya, maka bahasan di sini adalah tentang upaya untuk menjauhi washilah, agar terhindar dari perbuatan pokoknya yang dilarang. Oleh karenanya pokok bahasan di sini adalah tentang saddu al-dzari’ah. Tentang membuka zari’ah tidak dibicarakan karena sudah dijelaskan pada pembahasan tentang muqaddimah wajib.[1]
Pembagian Zari’ah menurut Imam asy Syatibi
Imam asy Syatibi membagi zari’ah dari segi kualitas kemafsadatannya menjadi empat, yaitu:
a.       Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Contohnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada malam hari, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
b.      Perbuatan yang boelh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan. Contohnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c.       Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Contohnya menjual senjata pada musuh, yang kemungkinan akan digunakan untuk membunuh.
d.      Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi kemungkinan terjadinya kemafsadatan. Contohnya baiy al ajal (jual beli dengan harga ysng lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan).
Kehujjahan Sadduz Zari’ah
Ulama yang berpegang atau yang menerima kehujjahan sadduz zari’ah sebagai dalil syara’ adalah ulama Malikiyah dan Hanabilah. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah SWT dalam surah al An’am ayat 108
(Alquran)
Hadis Rasulullah SAW
“ sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW ditanya, ‘wahai Rasulullah bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya. Rasulullah SAW menjawab: Seseorang yang mencaci-maki ayah orang lain, maka yahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya. (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Ulama Syafiiyah , Hanafiyah, dan Syiah menerima sadduz zari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafii menerima sadduz zari’ah apabila dalam keadaan uzur.
Sedangkan golongan Zahiriyah tidak mengakui kehujjahan sadduz zari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapka hukum syara. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nas secara harfiyah saja dan tidak menerima logika dalam masalah hukum.[2]
R. DILALAH IQTIRAN
1. Pengertian
Dilalah Iqtiran ialah apabila ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan yang lain karena kedua-duanya disebut bersama-sama dalam dalil itu juga. Iqtiran artinya bersama-sama (berbarengan).

2. Pendapat Ulama tentang Dilalah Iqtiran
Sebagian golongan Hanafiyah dan sebagian golongan Syafi’iyah serta Malikiyah menggunakan dilalah iqtiran. Jumhur ulama tidak membenarkan menetapkan hukum dengan dilalah iqtiran. Misalnya kuda tidak wajib dizakati sebagaimana keledai juga tidak wajib dizakati., karena keduanya disebutkan bersama-sama dalam satu ayat sebagaiman Firman Allah SWT berikut ini


Artinya : dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (An-Nahl : 8) Jika keledai tidak wajib dizakati maka kudapun tidak wajib dizakati juga. Dalam hal ini wau athaf menunjukkan bersekutu (berbarengan) tentu saja bersekutu di dalam hukumnya. Kalau yang satu wajib yang lainnya juga wajib. Bagi yang berpendapat bahwa dilalah iqtiran tidak dapat dijadikan sebagai hujjah bahwa dua hal yang hukumnya sama yang disebutkan secara berbarengan bukan karena dilalah iqtiran tapi semata-mata karena keduanya itu mempunyai illat yang sama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT sebagi berikut :
Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, (Al-Fath : 29)
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad SAW adalah Rasul Allah sedangkan orang-orang yang besertanya bukan Rasul, mereka ini keras terhadap orang-orang kafir, dan berkasih saying antara sesamanya

KESIMPULAN

Ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam menetapkan sesuatu hal pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa.
Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh. Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.,

DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.
Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.

Kasuwi Saiban. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
Masjfuk Juhdi. 1981. Ijtihad dan Problematikanya dalam memasuki abad XV
Hijriyah. Surabaya: Bina Ilmu.
Muhammad Abu Jahrah. t.t. Ushul Al-Fiqh. Kairo. Darul Fikri Al-‘Arabi.
Syed Muhammad Musa. 1971. Al-Ijtihad. Kairo; Darul Fikri.







[1]Amir Syarifuddin. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta. PT. Logos Wacana Ilmu. 2001. Hal: 399-400
[2] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 132-139
Posted by yudi
Tag :

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © JhodyMrazBraine -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -