Archive for 2015

SOSIALISME ISLAM: GAGASAN PEMIKIRAN H.O.S. COKROAMINOTO

Rakyat Indonesia mengenalnya sebagai seorang guru dan pemimpin organisasi Islam terbesar di zamannya yang bernama Serikat Islam. Beliau terlahir dari keluarga priyayi Ponorogo pada tanggal 16 Agustus 1882 di Desa Bukur Madiun, Jawa Timur. Ia terlahir dengan nama kecil Oemar Said. Sesudah menunaikan ibadah haji ia meninggalkan gelar keningratannya dan lebih suka memperkenalkan diri dengan nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau lebih dikenal H.O.S Tjokroaminoto. Gelar ’Raden Mas’ baginya adalah merupakan hak yang dapat dipergunakannya, sebagaimana ningrat-ningrat lainnya, sebab dalam dirinya mengalir darah ningrat, bangsawan dari Surakarta, cucu Susuhunan. Tjokroaminoto adalah keturunan kyai ternama yaitu Kyai Bagoes Kesan Besari. Seorang ulama yang memiliki pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun, Jawa Timur yang kemudian memperistri seorang putri dari Susuhunan II. Dengan perkawinannya itu, dia menjadi keluarga Keraton Surakarta (Anhar Gonggong,1985, H.O.S Tjokroaminoto).

Pada awalnya, Tjokroaminoto juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya . Tjokroaminoto adalah alumni Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Karena termasuk kaum bangsawan, Tjokro bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda yang menyetak pegawai-pegawai pemerintah kolonial itu. Lulus dari OSVIA, pada 1902, Tjokroaminoto bekerja sebagai pejabat pangreh praja atau juru tulis di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi meskipun pada akhirnya ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1905 sebagai bentuk penolakannya terhadap budaya feodal sembah meyembah dan politik elitis yang terjadi didalamnya. Untuk menyambung hidupnya, Tjokroaminoto kemudian menjadi kuli pelabuhan yang kelak membuatnya bertemu banyak pekerja kelas bawah dan menyadarkan kesadaran politik proletarnya samapai akhirnya membentuk “Serekat Sekerja” dengan tujuan untuk mengakat harkat para kelas pekerja.

Merasa sulit berkembang di kota Semarang, ia kemudian memutuskan pindah ke Surabaya. Di kota Surabaya ini ia bekerja pada sebuah firma yang bernama Kooy & Co. Disamping bekerja beliau juga tidak lupa meluangkan waktu untuk menambah ilmu pengetahuan. Pada tahun 1907-1910, dia mengikuti pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School). Setelah menamatkan sekolahnya di B.A.S, agaknya Tjokroaminoto sudah tidak tertarik lagi untuk meneruskan pekerjaannya di perusahaan dagang tersebut. Kemudian ia berhenti dan bekerja sebagai leerling machinist selama satu tahun lamanya yaitu dari tahun 1911 sampai 1912. Kemudian ia pindah bekerja lagi ke sebuah pabrik gula, Rogojampi Surabaya di dekat kota Surabaya sebagai seorang chemiker (Amin, 1995. H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, ).

Diantara banyak pekerjaan yang dilakoninya, tampaknya pekerjaan sebagai jurnalistik yang ia nikmati dan memberikannya banyak ruang exploirasi melalui sebuah surat kabar di kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya. Bakatnya ini semakin tampak jelas semasa ia menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dimana ia mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, yaitu surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad. Pada semua penerbitan itu ia selalu menjadi pemimpin redaksi. Ia memang menyadari fungsi surat kabar dan majalah sebagai salah satu alat perjuangan (Amelz, 1952.HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya ).

Di dunia pergerakan, sementara tetap mencari nafkah, Tjokroaminoto tetap membangun jaringan organisasi dan sembari belajar hingga terbentuknya kepengurusan Syarikat Islam (SI) pada 1912 yang kemudian menunjuk Tjokro sebagai pemimpin cabang Surabaya dan menjadi cikal bakal pergerakannya dalam perjuangan nasional. Prestasi perdana Tjokro adalah ketika ia sukses menyelenggarakan vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang anggota. Kongres resmi perdana SI sendiri baru terlaksana pada 25 Maret 1913 di Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua CSI mendampingi Hadji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua itulah Tjokro mulai menanamkan pengaruhnya hingga pada usia 35 tahun, Tjokroaminoto mencapai puncak karirnya sebagai pemimpin Sarekat Islam selama beberapa periode.

Tahun 1920 ketika Belanda melihat gerak Tjokroaminoto yang semakin membahayakan, ia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menghasut dan mempersiapkan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintah Belanda. Pada April 1922, setelah tujuh bulan meringkuk di penjara, ia kemudian dibebaskan. Tjokroaminoto kemudian diminta kembali untuk duduk dalam “Volksraad” atau Dewan Rakyat, namun permintaan itu ditolaknya karena ia sudah tak mau lagi bekerjasama dengan pemerintah Belanda.

Sementara beliau dipenjara, bebrapa mudridnya mengalami selisih paham, Samaun pimpinan SI cabang Semarang terpengaruhi faham Marxis akbiat kedekatanmnya dengan salah seorang sosialios radikal dari belanda yakni Snevlieet yang kelak mendirikan ISDV sebagai cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro. Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya.

Seringlah terjadi perdebatan yang sengit antara Samaun dan H. Agus Salim pengganti sementara di SI selama Tjokroaminoto uzur. Dalam Kongres Nasional IV disepakati untuk adanya disiplin Partai yaitu tiap-tiap anggota SI tidak memiliki 2 aliansi yakni Serikat Islam putih yang masih mempertahankan nilai Islam dan Serikat Islam merah yang banyak mengadpatsi niali-nilai komunis. Maka Samaun pun terkena disiplin Partai. Maka terbendunglah rencana PKI untuk memerahkan  SI. apalagi setelah keluarnya Tjokroaminoto dari penjara yang dapat memulihkan kerancuan dan perpecahan dikalangan Serikat Islam.

Serangkain sejarah dan perjalanan hidup pergerakannya, Tjokroaminoto adalah guru dari banyaknya pejuang kemerdekaan Indonesia, banyak orang berkata bahwa seandainya Soekarno tidak pernah berkunjung dirumanhnya dan berguru padanya maka Soekarno tidak akan menjalani perjuangan dalam merbut kemerdekaan Indonesia, Musso yang kemudian kita kenal sebagai salah satu pemimpin Partai Komunis Indonesia dan Kartosuwiryo yang agamis dan penggerak gerakan islam di Indonesia meskipun diantara mereka terkadang saling berselisih yang pada akhirnya sejarah melihat bahwa mungkin Soekarnolah yang mungkin mendapatkan banyak pelajaran dan mampu menterjemahkan nilai-nilai perjuanagan Tjokroaminoto melalui ideolgi perjuangan Nasakom akan tetapi dari merekalah warna bagi sejarah pergerakan Indonesia.

Sosialisme Islam:  Sebuah Gagasan Politik Kemanusiaan

Tahun 1924, HOS Tjokroaminoto menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Sekaligus menjadi karya terbesar pemikir islam revoluisoner pada zaman itu. Ide menulis buku tersebut berangkat dari pergoalatan pemikiran Tjokroaminoto dalam konteks zaman itu ketika bangsa Indonesia dalam upaya untuk memilah-milah ideologi yang cocok untuk perjuangan nasional Indonesia. Ide Sosialisme-Islam tjokroaminoto banyak dipengaruhi oleh kemunculan ideologi barat seperti Sosialisme, Kapitalisme dan Liberalisme.

Gagasan awal Tjokro yang banyak dibentuk dari perjalan hidupnya yang banyak bersentuhan dengan kelas pekerja dan kaum proletar lainnya sehingga baginya penting untuk memnemukan sutau ideology gerkan yang mampu menjelaskan nilai dasar, arah dan metode perjuangan, meskipun pada kenyataannya ide Sosialisme–Islam masih sangat abstrak untuk diterapkan ditengah kondisi masyarakat indoensia yang menginginkan idelogi yang praktis dan jelas seperti ideoligi komunis atau sosilisme seutuhnya.

Buku “Islam dan Sosialisme” karangan Tjokroaminoto memuat beberapa pembahasan dalam meletakkan posisi Islam dan ideologi sosialisme sebagai sebuah sumber pengeathaun yang membebaskan. Pembahasan menyangkut kaitan nilai dasar Sosialisme yang menginginkan adanya kolektifitas dan kesamarataan dalam berbagai lingkup hak hidup dan hal tersebut oleh Tjokroaminoto selaras dengan nilai Islam yang merupakan rahmat bagi semesta alam yang adil. Tjokroaminoto memahamai  nilai –nilai Islam dalam konteks kehidupan bangsa Arab pra Islam sebelum Nabi Muhammad, misi Nabi Muhammad yang bersifat sosialis, sikap sosialis sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Dan segala gambaran tentang kesamarataan dalam kehidupan yang dipedomani oleh nilai Islam yang kelak akan membentuk imperialisme muslim (Lebih lanjut : H.O.S. Tjokroaminoto.Islam dan Sosialisme ).

Dalam buku tersebut, Tjokroaminoto memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan apakah sosialisme Islam itu. Menurutnya, sosialisme Islam adalah “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Lebih jauh dia menjelaskan, “Cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak kurang dari 13 abad umurnya dan tidak boleh dikatakan terbit daripada pengaruhnya bangsa Eropah. azas-azas sosialisme itu telah dikenal di dalam pergaulan hidup Islam pada zamannya Nabi kita, Muhammad SAW.

Islam menurut Tjokroaminoto adalah pedoman perlawanan dalam menentang dominansi, Islam datang di muka bumi tidak sebagai “tuhan material” baru seperti tuhan para kaum agama terdahulu akan tetapi Islam datang dengan membawa pengetahuan yang objektif tentang bagaiman kita semestinya menjalani hidup dan bekerja di bawah pedoaman akan iman kepada-Nya. Segala rukun Islam pada dasar adalah nilai kesamarataan dalam kehidupan, tidak ada manusia mendominasi manusia yang lain dengan keyakinan yang teguh bahwa Tuhan hanya satu dan para umat manusia di muak bumi hendaknya saling menghargai semata-mata untuk mendapatkan rahmat dari tuhan. Nilai kesamaraatn Islam inilah yang menjadi poin penting dalam menempatkan politik kemanusiann sebagai solusi dari penindasan di muka bumi.

Dalam berbagai aspek hak hidup mulai dari hak ekonomi, sosial dan politik menurut Tjokroaminoto ada dalam ajaran Islam , Islam secara tegas mengharamkan riba dan akumulias modal sebagai mana yang dilakukan oleh Kapitelisme sehingga dalam Islam kita mengenal konsep share capital atau bersedekah agar tidak ada akumulasi modal disatu titik dan semua orang meras menjadi bagian dari hak ekonomi tersebut. Tjokroaminoto menulis dalam bukunya terkait ini “Menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaannya lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan itu, –semua perbuatan yang serupa ini, oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan “meerwaarde” atau nilai lebih adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan “riba” belaka,”.

Dalam aspek social, menghargai umat manusia sederajat dengan yang lain adalah poin besarnya dalam menlihat dan bergaul dengan masyarakat sekitar kita agar terhindar dari kesombongan sosial yang kelak akan memunculkan mental antipati terhadap manusia yang lain karena ketika itu terjadi maka kita secara tidak sadar kita telah berada dalam lingkaran mahluk individual yang dibenci oleh Islam.

Dalam politik, ide Islam dan Sosialismenya Tjokroaminoto juga berusahan menjelaskan bagaimana sebuah pemerintahan yang berbasis agama itu hendaknya menjadi tujuan utama, berangkat dari pengalaman kemanangan umat Islam di Timur Tengah seperti yang dijalan oleh Kemal Attaturk yang diidolakan oleh Tjokroaminoto dalam menlawan pemerintahan sekuler yang terbukti gagl dalm membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya, keyakinan sekuler dalam pemerintahan berkayikan untuk memisahkan persoalan agama dalam kehidupan politik dan tidak saling mencampuri sehingga seolah-olah berpolitik bukanlah bertujuan untuk mencari rahmat-Nya. Hal lain dalam aspek ini ialah untuk menghindari penghianatan akan niai politik yang idealnya untuk mencari kemaslahtan umat bukan untuk saling membodohi, mencedeari bahkan mengekspolitasi sesama umat manusia, menempatkan dan melihat manusia berdasrkan keuntungan semata seolah-olah barang dagangan yang sangat dibenci oleh Islam.

Menurut Tjokroaminoto, dasar sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad adalah kemajuan budi pekerti rakyat. Hal ini tampak dalam pernyataannya, “Menurut pendapat saya dalam faham sosialisme ada 3 anasir, yaitu “kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity)”. Nilai inilah yang oelh Tjokroaminoto dipercaya sebagai nilai yang mampu menciptakan kondisi kolektifitas dalam berbagai aspek untuk meraih kemenangan termasuk dalam perjuangan nasional Indonesia.

Umat Islam harus mengambil pelajaran dari tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan menentang perbudakan. Nabi mengatakan, “Tentang budak-budakmu berilah makan padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan berilah pakaian padanya seperti pakaian yang kamu pakai sendiri. Apabila kamu tidak dapat memelihara mereka, atau mereka melakukan kesalahan, lepaskan mereka. Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga, dan kamu harus berlaku baik-baik kepada mereka.” Hal tersbut dapat diterjamahkan sebagai upaya untuk menghilangkan penjajahan yang terjadi di Indonesia dengan cara membangun kesadaran mayarakatnya untuk melawan.

Kemunculan ide Tjokroaminoto mengenai Islam dan Sosialisme bukan berarti tanpa kendala, beberapa tokoh Islam dan masyarakat Indonesia pada waktu itu banyak melihat ide Tjokroaminoto masih sangat abstrak dan terkesan memaksakan ideologi Sosialisme yang lebih dikenal karena keterkaitannya dengan Komunis yang dianggap atheis. Pandangan tersbut banyak muncul dari golongan Islam konservatif masih melihat Tjokroaminoto dalam proses mempelajari Islam seutuhnya, para golongan tersebut adalah variasi golongan umat islam di Indonesia saat itu yang mulai terpecah-pecah stelah banyaknya konflik organisasi dan kemunculan organisasi baru umat islam lainnya yang menhendaki adanya persatuan umat islam yang murni

Kemunculan ide Tjokroaminoto mengenai Islam dan Sosialisme bukan berarti tanpa kendala, beberapa tokoh Islam dan masyarakat Indonesia pada waktu itu banyak melihat ide Tjokroaminoto masih sangat abstrak dan terkesan memaksakan ideologi Sosialisme yang lebih dikenal karena keterkaitannya dengan Komunis yang dianggap atheis. Pandangan tersebut banyak muncul dari golongan Islam lain yang masih melihat Tjokroaminoto dalam proses mempelajari Islam seutuhnya, para golongan tersebut adalah variasi golongan umat islam di Indonesia saat itu yang mulai terpecah-pecah stelah banyaknya konflik organisasi dan kemunculan organisasi baru umat islam lainnya yang menhendaki adanya persatuan umat islam yang murni.

Tjokroaminoto bukanlah tokoh Islam yang gampang jatuh, bersama umat Islam dari kelompok reformis lainnya termasuk dari tokoh Agus Salim dan beberapa tokoh Muhammadiah beliau menlncarkan banyak program kerja yang bertujuan untuk menghilangkan upaya dominasi colonial dalam mengatur kehidupan umat islam di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sosok Tjokroaminoto adalah orang mampu menciptakan persatuan di antara semua golongan seperti yang pernah ia alami ketika meminpin Serikat Islam yang saat itu sedang mengalami perpecahan antara Serikat Islam yang bertetapan untuk nilai Islam murni atau Serikat Islam putih dan Serikat Islam yang mulai tercampur dengan ajaran komunis atau Serikat Islam merah.

Terlepas dari segala kontroversi dan pergulatan idenya, tokoh Tjokroaminoto telah menjadi tokoh islam yang memulai gagasan politik yang berbasis agama dan mengedapankan pembebasan secara utuh bagi masyarakat Indonesia sehingga kelak bangsa ini akan meraih kemrdekaannya secara utuh di jalan yang dirahmati oleh ajaran Islam dan cita-cita kolektif berasma dapat tercapai bagi generasi selanjutnya.

Selasa, 06 Oktober 2015
Posted by yudi

Batan - International Atomic Energy Agency Kerja Sama Teknologi Nuklir Damai

Sabtu, 25 September 2015 | 08:47

AAA

London - Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Djarot S Wisnubroto, bersama dengan Deputy Director General Technical Cooperation (DDG-TC) dari International Atomic Energy Agency (IAEA), Dazhu Yang, menandatangani dokumen untuk aplikasi teknologi nuklir untuk tujuan damai.

"Dokumen yang disebut Country Program Framework (CPF) Indonesia untuk periode 2016-2020 itu merupakan kerangka kerja sama Indonesia dengan IAEA, yang akan digunakan sebagai acuan dalam menyusun program dan rencana kegiatan IAEA Technical Coperation Projects untuk Indonesia," kata Minister Counsellor KBRI/PTRI Wina, Dody Kusumonegoro, London, Sabtu (19/9).

Penyusunan CPF mengacu kepada program dan prioritas pembangunan nasional periode 2016-2020, yang mengakomodasi elemen Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam dokumen CPF ditetapkan tujuh area utama kerja sama, yakni pangan dan agrikultur, kesehatan, energi, air dan lingkungan, industri pertambangan bijih timah radioaktif dan keamanan radiasi, serta keselamatan dan keamanan nuklir.

Dalam sambutannya, DDG TC IAEA, Dazhu Yang, menyampaikan penghargaannya atas kontribusi dan partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai program kerja sama teknik IAEA.

Hasil kerja sama dengan Indonesia tidak hanya bermanfaat bagi end users di Indonesia, tapi juga menjadi acuan best practices bagi negara berkembang lainnya.

Dalam berbagai kesempatan, Technical Cooperation (TC) IAEA meminta Indonesia berbagi pengalaman dan alih teknologi ke negara berkembang lainnya di kawasan Asia dan Afrika.

Sementara itu, Djarot menyampaikan terima kasih atas kerja sama antara Indonesia dengan TC IAEA.

Kerja sama tersebut memberikan hasil konkret dan berdampak positif dalam berbagai bidang pembangunan. Indonesia akan melakukan penguatan kerja sama yang ada, termasuk memberikan bantuan teknik bagi negara berkembang lainnya dalam payung kerja sama selatan-selatan melalui triangular mechanismdengan IAEA.

Kepala Batan juga menyerahkan dokumen Nuclear Energy System Assessment (NESA), hasil kajian komprehensif program pengembangan energi nuklir, termasuk aspek daur bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Kajian NESA dilakukan Indonesia, dengan bantuan teknis IAEA melalui program IAEA INPRO, konsorsium kerja sama melibatkan 36 negara anggota IAEA dalam pengembangan dan inovasi teknologi PLTN.
Sumber: Beritasatu

Kamis, 24 September 2015
Posted by yudi
Tag :

MENGENAL KAIDAH AL-'AM DAN KAIDAH AL-KHAS

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i konteks al-qur’an dan al-hadis tersebut bisa berupa lafaz umum dan khusus. Lafaz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus diartikan pada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qath’i) atau dugaan (dhzony), terdapat pebedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan ulama jumhur (syafi’iyah, malikiyah, hambaliyah) dan hanafiyah. Pembahasan tentang dalil takhsis (yang mengkhususkan) lafadz ‘am insya Allah akan di uraikan dalam bab takhsis.
Nash Al-Qur’an dan Al- Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Dan adapula yang muqoyyad yakni lafadz yang dilakukan harus sesuai batasan (kaitnya).







BAB II
PEMBAHASAN
A.  Al-‘Am
1.    Pengertian al-‘am
Dalam upaya untuk memahami al-‘am ini para ulama ushul telah memberikan sejumlah definisi atau pengertian yang pada dasrnya mengandung maksud yang sama, meskipun redaksinya berbeda satu sama lainnya. Syaikh Al-khudari Beik, menyebutkan sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَ الَّلفْظُ الدَّالُ عَلَى إِسْتِغْرَاقِأَفْرَادِ مَفْهُوْمٍ
“al-‘am adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup sejumlah objek atau satuan yang banya”..
Sementara itu, Zaki al-Din Sya’ban mendefinisikan al-‘Am sebagai berikut;
العَامُ هُوَ الَّلفُظْ الْمَوْضُوْعُ وَضْعًا وَاحِدًا وَالَّذِى يَشْمَلُ جَمِيْع الْاَفْرَادِ الَّتِى يَصْدُقُ عَلَيُهَا مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ حَصْرٍ فِى كَمِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ
“al-‘Am ialah suatu lafaz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat meliputi berbagai objek di dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hakekat keumuman lafal itu adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup didalamnya.
Makna al-‘Amm termasuk lafal yang digunakan untuk makna tertentu dan karenanya ia qath’iy hingga muncul dalil yang metakhsis. Hal demikian seperti halnya al-khas, yang kandungannya bersifat qath’iy hingga muncul dalil al-majaz; sedangkan kemungkinan adanya takhsis atas al-‘amm merupakan kemungkinan (ihtimal) yang tidak muncul dari dalil yang bersangkutan sehingga tidak menafikan sifat ke-qath’iy-an, sebagaimana halnya kemungkinan (ihtimal) adanya al-majaz atas al-khas tidak menafikan sifat ke-qath’iy-annya.[1]
Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek tertentu walaupun tanpa qarinah. Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiyah menyatakan bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan penyertaan.
Semua ulama sepakat bahwa adanya pentakhsish-an lafaz yang ‘amm, karena pada dasarnya semua ayat-ayat al-Qur’an mengandung kebolehan mentakhsiskan, baik takhsis muttashil maupun munfashil. [2]

2.    Karaktristik lafal al-‘Am
Berdasarkan penelitian para ulama ushul, bahwa banyak lafal nash yang mengandung makna umum dengan karaktristiknya sendiri. Dan atas dasar ini, maka para ulama ushul telah menyimpulkan ciri khas dan karaktristik lafal yang dikatagorikan kepada umum tersebut. sebagaiman yang telah dikemukakan oleh Mustafa Said al-Khin, bahwa suatu lafal dipandang umum bila didalam nash terdapat lafal-lafal seperti berikut:

·         Lafal ( كل ) yang artinya setiap
·         Lafal ( جميع ) yang artinya semua atau seluruhnya
·         Jama’ atau mufrad dima’rifatkan kepada alif lam al-jinsiyah dan lafal jama’ yang diidofatkan
·         Isim maushul
·         Isim syarat
·         Isim nakirah yang dinafikan
Disamping itu Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al Fuhul, menyebutkan, lafal-lafal , seperti (سا ئر) semua, (كافة) seluruh, (عامة) semua, dan ( معشر) jamanya ( معا شر) sekalian adalah golongan kepada al-‘am. Dalam hubungan ini, bila ditemukan susunan kalimat dengan menggunakan lafal-lafal yang disebutkan diatas, maka ia akan di golongkan kepada al-‘am (umum).Contonya: QS. Al-Baqarah: 275
3¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#4
“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Lafal  “yìøt7ø9ا” (jual beli) dan “#4qt/Ìh9ا ” (riba) dalam ayat diatas keduanya adalah isim mufrod  (tunggal) yang dima’rifatkan kepada alif lam al-jinsiyah (jenis). Oleh karena itu, kedua lafal adalah di golongkan kepada al-‘am.
Dari contoh diata sudah jelas bahwa keumuman lafal nash, ditandai dengan penggunaan lafal-lafal tertentu seperti telah disebutkan diatas sebagai ciri atau karaktristik lafal al-‘am.
3.    Dalalah al-‘am dan implikasi pemahamannya
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya.  Kalangan ulama hanafi seperti  dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum diamalkan.
            Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
4.    Al-Khas
1.        Pengertian al-Khas
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am mengandung arti umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek yang banyak, maka al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan ulama ushul tentang pengertian al-kahs. Beberapa pengertian berikut ini dapat dipahami bahwa lafal al-kahs merupakan arti tertentu dan tidak terdapat perbedaan dikalangan ulama ushul, kecuali dari segi redaksi saja.[3]
Abdul Wahab Khallaf misalnya menyebutkan:
الخَاصُّ هُوَ لَفْظٌ وُضِعَ لِلدِّلَاَ لَةِ عَلَى فَرْدٍوَاحِدٍ
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan pengertian pada suatu satuan objek tertentu saja”.
Kemudian Mustafa Said al-Khin memberikan definisi al-Khas sebagai berikut:
الخَاصُ فَكُلُّ لَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الْأَفْرَاد وَهُوَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ خُصُوْصَ الْجِنْسِأَوْخُصُوْصَ النَّوْعٍأَوْ خُصُوْصَ الْعَيْنِ
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu pengertian tertentu atau khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi jenis dan macamnya maupun segi subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-laki”.
Sementara imam al-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Futuh, menjelaskan bahwa yang disebut dengan al-khas adalah suatu lafal yang menunjukan kepada satu sebutan saja.
Dari pengertian yang digunakan untuk menunjukan pengertian yang tertentu saja. pengertian tertentu ini berkaitan sifat satuan yang disebutkan, yaitu segi jenisnya, macam-macamnya, maupun segi zat dan subtansinya. Dengan kata lain al-khas itu pengertiannya sudah terbatas pada aspek tertentu yang secara khusus memang disebutkan.
2.        Karaktristik lafal al-khas
Suatu lafal nash dikatagorikan kepada al-khas, bila lafal tersebut diungkapkan dalam bentuk atau karaktristik berikut ini:
·           Diungkapkan dengan menyebut jumlah atau bilangan dalam satu kalimat
·           Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang
·           Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofat
Dari ketiga ciri atau karaktristik diatas dapat dipahami bahwa lafal al-khas menunjukan makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam nash ditemukan lafal-lafal seperti karaktristik diatas, maka digolongkan pada al-khas.
3.        Dalalah al-Khas dan pandangan ulama
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.
Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
4.    Mutlaq dan Muqayad
1.    Pengertian Mutlaq dan Muqayad
a.    Mutlaq
Dari beberapa literatur ushul fiqh terdapat sejumlah definisi yang diberikan oleh ulama ushul tentang mutlaq ini. Muhammad Jawad Mughniyah, dalam kitab ‘Ilmu Ushul Fi Sanbih al-Jadid, menyebutkan sebagai berikut:
إِنَّ الْمُطْلَقَ هُوَ الًّلفْظُ الدَّالُ عَلَى الْمَاهِيَّةِ بِلَا قَيْدٍ
“bahwa mutlaq itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu pengertian tanpa diikat oleh batasan tertentu”.
Secara tegas Muhammad Jawad mengatakan bahwa yang dimaksud Mutlaq adalah suatu lafal yang menunjukan satu bagian atau jenis , tanpa ada pengecualiannya. Seperti nama orang, hamba sahaya atau orang persi. Dalam hubungan ini Mustafa Said al-Khin menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan mutlaq ialah:
بِأَنَّ يَدُلُّ عَلَى فَرْدٍمُنْتَشِرٍ فِى جِنْسِهِ غَيْرِمُقَيَّدٍ لَفْظًا بِأَيِّ قياءٍ يَحُدُّ مِنْ اْنتِشَارِهِ
“yaitu satu lafal yang menunjukan atas suatu objek yang tercakup dalam jenisnya, tanpa dibatasi oleh suatu batasan dari cakupannya itu”.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya apa yang di sebut dengan mutlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya. Misalnya dalam nash al-Qur’an yang sering dirujuk oleh ulama ushul disebutkan sebagai berikut:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَسَمَّا
“maka (wajib) atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri itu bercampur”
Dalam ayat diatas terdapat lafal (رَقَبَةٍ) “budak” yang tidak ada batasannya berupa sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya.
b.    Muqayad
Adapun pengertian muqayad mengandung arti sebaliknya dari mutlaq. Tentang muqayad ini para ulama ushul juga memberikan sejumlah pengertian. Diantaranya, seperti dikemukakan oleh Syaik al-Khudari Beik, sebagai berikut:
المُقَيِّدُ مَادَلَ عَلَى فَرْادٍ شَا ئِعَةٍ بِقَيْدٍ مُسْتَقْبَلٍ للفظا
“muqayad ialah lafal yang menunjukan kepada suatu objek (afrad) atau beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”.
Sementara Zaky al-Din Sya’ban mendefinisikan muqayad sebagai berikut:
المُقَيَّدُ هُوَ اللَّفْظُ الَّذِي يَدُلُّ عَلَى فَرْدٍأَوْأَفْرَادٍعَلَى سَبِيْلِ الشُّيُوْعِ وَاقْتَرَنَ بِهِ مَايَدُلُّ عَلَى تَقْيِيْدِهِ بِصِفَةٍ مِنَ الصِّفَاتِ
“muqayad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa objek dan ia telah dibatasi oleh suatu sifat”.
Kemudian, Mustafa Said al-Khin menyebutkan sebagai berikut:
دِلَالَةُ الَّلفْظِ عَلَى الْمَاهِيَةِ مُقَيَّدَةٌبِقَيْدٍ مَا يُقَلِّلُ مِنْ شُيُوْعِهَا أَوْ عَلَى مَدْلُوْلٍ مُعَيَّنٍ
“yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti. Contohnya:
㍃̍óstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB×ptƒÏŠurîpyJ¯=|¡B#n<Î)اهله
“maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya”.
Lafal (7pt7s%u7poYÏB÷sB) merupakan ةuqayad, karena telah dibatasi oleh suatu sifatyang cakupan maknanya menjadi lebih spesifik dan terbatas.

2.    Pandangan Ulama Tentang Dalalahnya Mutlaq dan Muqayad
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam hal ketentuan hukum antara mutlaq dan muqayad adalah sama, sementara sebabnya berbeda.
أَنْ يَتَحِدَا فِى الْحُكْمِ وَيَخْتَلِفَا فِى السَّبَتِ
Kalangan mazhab Hanafi, yang mutlaq diamalkan sesuai dengan kemutlaqannya dan demikian pula yang muqayad. Akan tetapi, kalangan jumhur fuqaha seperti mazhab syafi’i, maliki, dan hanbali berpendapat bahwa jika ketentuan hukum antara mutlaq dan muqayad adalah sama dan sebab yang melatar belakangi berbeda, maka mutlaq dibawa ke muqayad.
Contonya seperti kafarat zihar adalah memerdekakan seorang budak (7pt7s%u7poYÏB÷sB) diungkapkan dengan lafal mutlaq (pt7s%u) adapun kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah) memerdekakan seorang budak mukmin (㍃̍óstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB) diungkapkan dengan muqayad. Pada dasarnya ketentuan kafarat zihar dan pembunuhan tak sengaja ketentuannya dalah sama, tetapi yang disebut tyerakhir yang diungkapkan dengan muqayad. Menurut Hanafi Mutlaq tetap pada kemutlaqannya dan muqayad juga tetap pada tempatnya. Sebaliknya kalangan jumhur berpendapat Mutlaq dibawa keMuqayad. Persoalan sekarang adalah apa yang melatarbelakangi perbedaan kedua kelompok yang disebutkan ini? Ternyatamasing-masing kelompok mempunyai alasan tersendiri.
a.    Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana dijelskan oleh Mustafa Said al-Khin, bahwa pada dasarnya setiap dalalah lafal nash yang bersumber dari sayri’ mengandung ketentuan hukum tersendiri. Oleh karena itu subtansial setiap nas mempunyai hujjah tersendiri. Dengan demikian lafal mutlaq tidak boleh disatukan oleh lafal muqayad.
b.    Kalangan jumhur
Adapun alasan jumhur tentang mutlaq yang harus dibawa kepada muqayad adalah karena al-Qur’an itu merupakan atau ibarat satu perkataan yang wajib membina antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Jika terdapat satu perkataan dalam al-Qur’anyang tertentu hukumnya sudah pasti, maka ketentuan hukum tersebut berlaku sama disemua tempat. Menurut Muhammad Abu Zahra, apabila terdapat pada satu tempat suatu ketenyuan secara Muqayad dan di tempat lain Mutlaq, maka mutlaq dibawa kepada muqayad karena hakekatnyakedudukannya adalah satu ketentuan.[4]





KESIMPULAN

hakekat keumuman lafal itu adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup didalamnya.
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am mengandung arti umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek yang banyak, maka al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan ulama ushul tentang pengertian al-kahs.
mutlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya.
muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.


















[1] Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011), cet. I, h. 197
[2] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)cet. IV, h. 35
[3] Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 195

[4] Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 215
Selasa, 19 Mei 2015
Posted by yudi
Tag : ,

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © JhodyMrazBraine -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -